Minggu, 30 September 2012

4 Buah Lilin

Ada 4 lilin yang menyala, Sedikit demi sedikit habis meleleh.

Suasana begitu sunyi sehingga terdengarlah percakapan mereka

Yang pertama berkata: “Aku adalah Damai.” “Namun manusia tak mampu menjagaku: maka lebih baik aku mematikan diriku saja!” Demikianlah sedikit demi sedikit sang lilin padam.

Yang kedua berkata: “Aku adalah Iman.” “Sayang aku tak berguna lagi.” “Manusia tak mau mengenalku, untuk itulah tak ada gunanya aku tetap menyala.” Begitu selesai bicara, tiupan angin memadamkannya.


Dengan sedih giliran Lilin ketiga bicara: “Aku adalah Cinta.” “Tak mampu lagi aku untuk tetap menyala.” “Manusia tidak lagi memandang dan mengganggapku berguna.” “Mereka saling membenci, bahkan membenci mereka yang mencintainya, membenci keluarganya.” Tanpa menunggu waktu lama, maka matilah Lilin ketiga.

Tanpa terduga…

Seorang anak saat itu masuk ke dalam kamar, dan melihat ketiga Lilin telah padam. Karena takut akan kegelapan itu, ia berkata: “Ekh apa yang terjadi?? Kalian harus tetap menyala, Aku takut akan kegelapan!”

Lalu ia mengangis tersedu-sedu.

Lalu dengan terharu Lilin keempat berkata:

Jangan takut, Janganlah menangis, selama aku masih ada dan menyala, kita tetap dapat selalu menyalakan ketiga Lilin lainnya:

“Akulah HARAPAN.”

Dengan mata bersinar, sang anak mengambil Lilin Harapan, lalu menyalakan kembali ketiga Lilin lainnya.

Apa yang tidak pernah mati hanyalah HARAPAN yang ada dalam hati kita….dan masing-masing kita semoga dapat menjadi alat, seperti sang anak tersebut, yang dalam situasi apapun mampu menghidupkan kembali Iman, Damai, Cinta dengan HARAPAN-nya!

"Cacat"

Sebuah toko hewan peliharaan (pet store) memasang papan iklan yang menarik bagi anak-anak kecil, "dijual anak anjing". Segera saja seorang anak lelaki datang, masuk ke dalam toko dan bertanya
"Berapa harga anak anjing yang anda jual itu?" Pemilik toko itu menjawab, "Harganya berkisar antara 30 - 50 Dollar." Anak lelaki itu lalu merogoh saku celananya dan mengeluarkan beberapa keping uang, "Aku hanya mempunyai 2,37 Dollar, bisakah aku melihat-lihat anak anjing yang anda jual itu?" Pemilik toko itu tersenyum.

Ia lalu bersiul memanggil anjing-anjingnya. Tak lama dari kandang anjing munculah anjingnya yang bernama Lady yang diikuti oleh lima ekor anak anjing.Mereka berlari-larian di sepanjang lorong toko. Tetapi, ada satu anak anjing yang tampak berlari tertinggal paling belakang.

Si anak lelaki itu menunjuk pada anak anjing yang paling terbelakang dan tampak cacat itu. Tanyanya, "Kenapa dengan anak anjing itu? Pemilik toko menjelaskan bahwa ketika dilahirkan anak anjing itu mempunyai kelainan di pinggulnya, dan akan menderita cacat seumur hidupnya. Anak lelaki itu tampak gembira dan berkata, "Aku beli anak anjing yang cacat itu." Pemilik toko itu menjawab, "Jangan, jangan beli anak anjing yang cacat itu. Tapi jika kau ingin memilikinya, aku akan berikan anak anjing itu padamu."

Anak lelaki itu jadi kecewa. Ia menatap pemilik toko itu dan berkata, "Aku tak mau kau memberikan anak anjing itu cuma-cuma padaku. Meski cacat anak anjing itu tetap mempunyai harga yang sama sebagaimana anak anjing yang lain. Aku akan bayar penuh harga anak anjing itu. Saat ini aku hanya mempunyai 2,35 Dollar. Tetapi setiap hari akan akan mengangsur 0,5 Dollar sampai lunas harga anak anjing itu."

Tetapi lelaki itu menolak, "Nak, kau jangan membeli anak anjing ini. Dia tidak bisa lari cepat. Dia tidak bisa melompat dan bermain sebagaiman anak anjing lainnya." Anak lelaki itu terdiam. Lalu ia melepas menarik ujung celana panjangnya. Dari balik celana itu tampaklah sepasang kaki yang cacat. Ia menatap pemilik toko itu dan berkata, "Tuan, aku pun tidak bisa berlari dengan cepat. Aku pun tidak bisa melompat-lompat dan bermain-main
sebagaimana anak lelaki lain. Oleh karena itu aku tahu, bahwa anak anjing itu membutuhkan seseorang yang mau mengerti penderitaannya. "

Kini pemilik toko itu menggigit bibirnya. Air mata menetes dari sudut matanya. Ia tersenyum dan berkata, "Aku akan berdoa setiap hari agar anak-anak anjing ini mempunyai majikan sebaik engkau."

Bahkan mereka yang cacat pun mempunyai nilai yang sama dengan mereka yang normal?????

Hanya orang yang pernah mengalami penderitaan yang bisa menolong dan menyelami penderitaan orang lain.
Pandanglah sekitar anda..mungkin mereka tidak seberuntung kita dan mungkin anda belum pernah mengalami penderitaan sedahsyat mereka. Hal tersebut yang kadang membuat mata hati kita tumpul atau sebaliknya, ketika anda mengalami penderitaan justru hal tersebut membuat kita bisa memahami penderitaan orang lain.

Ayah, Aku Cape

Di suatu sore, seorang anak datang kepada ayahnya yg sedang baca koran… “Oh Ayah, ayah” kata sang anak…
“Ada apa?” tanya sang ayah…..
“aku capek, sangat capek … aku capek karena aku belajar mati matian untuk mendapat nilai bagus sedang temanku bisa dapat nilai bagus dengan menyontek…aku mau menyontek saja! aku capek. sangat capek…
aku capek karena aku harus terus membantu ibu membersihkan rumah, sedang temanku punya pembantu, aku ingin kita punya pembantu saja! … aku capel, sangat capek …
aku cape karena aku harus menabung, sedang temanku bisa terus jajan tanpa harus menabung…aku ingin jajan terus! …
aku capek, sangat capek karena aku harus menjaga lisanku untuk tidak menyakiti, sedang temanku enak saja berbicara sampai aku sakit hati…
aku capek, sangat capek karena aku harus menjaga sikapku untuk menghormati teman teman ku, sedang teman temanku seenaknya saja bersikap kepada ku…
aku capek ayah, aku capek menahan diri…aku ingin seperti mereka…mereka terlihat senang, aku ingin bersikap seperti mereka ayah ! ..” sang anak mulai menangis…
Kemudian sang ayah hanya tersenyum dan mengelus kepala anaknya sambil berkata ” anakku ayo ikut ayah, ayah akan menunjukkan sesuatu kepadamu”, lalu sang ayah menarik tangan sang anak kemudian mereka menyusuri sebuah jalan yang sangat jelek, banyak duri, serangga, lumpur, dan ilalang… lalu sang anak pun mulai mengeluh ” ayah mau kemana kita?? aku tidak suka jalan ini, lihat sepatuku jadi kotor, kakiku luka karena tertusuk duri. badanku dikelilingi oleh serangga, berjalanpun susah krn ada banyak ilalang… aku benci jalan ini ayah” … sang ayah hanya diam.
Sampai akhirnya mereka sampai pada sebuah telaga yang sangat indah, airnya sangat segar, ada banyak kupu kupu, bunga bunga yang cantik, dan pepohonan yang rindang…
“Wwaaaah… tempat apa ini ayah? aku suka! aku suka tempat ini!” sang ayah hanya diam dan kemudian duduk di bawah pohon yang rindang beralaskan rerumputan hijau.
“Kemarilah anakku, ayo duduk di samping ayah” ujar sang ayah, lalu sang anak pun ikut duduk di samping ayahnya.
” Anakku, tahukah kau mengapa di sini begitu sepi? padahal tempat ini begitu indah…?”
” Tidak tahu ayah, memangnya kenapa?”
” Itu karena orang orang tidak mau menyusuri jalan yang jelek tadi, padahal mereka tau ada telaga di sini, tetapi mereka tidak bisa bersabar dalam menyusuri jalan itu”
” Ooh… berarti kita orang yang sabar ya yah? alhamdulillah”
” Nah, akhirnya kau mengerti”
” Mengerti apa? aku tidak mengerti”
” Anakku, butuh kesabaran dalam belajar, butuh kesabaran dalam bersikap baik, butuh kesabaran dalam kujujuran, butuh kesabaran dalam setiap kebaikan agar kita mendapat kemenangan, seperti jalan yang tadi… bukankah kau harus sabar saat ada duri melukai kakimu, kau harus sabar saat lumpur mengotori sepatumu, kau harus sabar melawati ilalang dan kau pun harus sabar saat dikelilingi serangga…
dan akhirnya semuanya terbayar kan? ada telaga yang sangatt indah.. seandainya kau tidak sabar, apa yang kau dapat? kau tidak akan mendapat apa apa anakku, oleh karena itu bersabarlah anakku”
” Tapi ayah, tidak mudah untuk bersabar ”
” Aku tau, oleh karena itu ada ayah yang menggenggam tanganmu agar kau tetap kuat … begitu pula hidup, ada ayah dan ibu yang akan terus berada di sampingmu agar saat kau jatuh, kami bisa mengangkatmu, tapi… ingatlah anakku… ayah dan ibu tidak selamanya bisa mengangkatmu saat kau jatuh, suatu saat nanti, kau harus bisa berdiri sendiri… maka jangan pernah kau gantungkan hidupmu pada orang lain,
jadilah dirimu sendiri… seorang pemuda muslim yang kuat, yang tetap tabah dan istiqomah(teguh pendirian) karena ia tahu ada Allah di sampingnya… maka kau akan dapati dirimu tetap berjalan menyusuri kehidupan saat yang lain memutuskan untuk berhenti dan pulang… maka kau tau akhirnya kan?”
” Ya ayah, aku tau.. aku akan dapat surga yang indah yang lebih indah dari telaga ini … sekarang aku mengerti … terima kasih ayah , aku akan tegar saat yang lain terlempar ”
Sang ayah hanya tersenyum sambil menatap wajah anak kesayangannya.
Perjuangan dan kejujuran adalah harga mati untuk setiap orang yang ingin menggapai keberhasilan dengan cara yang diridhoi Allah. Bersikap jujurlah, meskipun itu dapat membunuhmu suatu saat.

Sabtu, 29 September 2012

Hitung-hitungan Sama Janji Allah

Jadi tukang parkir adalah salah satu dari sekian cara yang dilakukan Awwam untuk menghidupi dirinya. Berkat koneksi dengan salah satu teman yang aktif di ormas, akhirnya Awwam bisa "membeli" sebuah lokasi parkir yang diisi oleh para pedagang lesehan pecel lele.

Kembali, kehidupan jalanan lagi-lagi membentuk kepribadian Awwam. Kesibukan dan ambisinya untuk mencapai sesuatu semakin membuat Awwam terlihat semakin buruk dimata orang-orang sekitarnya. Menjadi tukang parkir masih dipandang sebelah mata oleh orang-orang sekitar, apalagi status Awwam pada waktu itu masih sebagai mahasiswa aktif.


Hingga pada suatu ketika ada salah seorang sahabat satu kampus Awwam yang sedikit protes dengan kesibukan Awwam ini yang dianggapnya mencoreng nama baik organisasi kampus yang kebetulan Awwam adalah salah satu pengurus disana.

"Wam, tidakkah kamu berpikir bahwa tindakanmu menjadi tukang parkir dan akrab dengan kehidupan malam ini sangat bertentangan dengan agama dan khususnya organisasi kita. Saya kaget mendengar ini dari para junior. Bahkan tahun ini kita kekurangan anggota karena pamor kepengurusan organisasi menurun" Terang sahabat Awwam ini.

Awwam menjawab, "Lalu apakah menurut sobat ada perintah Agama dan ketentuan organisasi yang saya langgar karena saya menjadi tukang parkir?"

Karena sahabat Awwam satu ini adalah juga seorang marbot masjid kampus, sudah dipastikan argumen seperti apa yang bakal keluar dari mulutnya

"Tidak sich, tapi coba kamu pikirkan. Seandainya semua kita sebagai pengurus organisasi beraktifitas hanya dilingkungan masjid, maka tidak hanya pahala yang berlipat yang bisa kita dapatkan tapi juga pamor dan simpati jama'ah atas diri dan organisasi kita" Jawab sahabatnya itu.

Mendengar jawaban seperti itu, bukannya membuat Awwam paham dan memaklumi maksud temannya, malah semakin membuat Awwam tertawa sambil berkata, "Istighfar Sob, sempat-sempatnya ente menghitung pahalanya Allah dikehidupan kita yang semangkit sempit ini...haha....
"Lho, apanya yang salah? Bukankah Allah sudah menjanjikan pahala yang berlipat bagi setiap hambah-Nya yang menegakkan dan mengharumkan Agama Allah" Sambung temannya dengan nada yang agak naik.
"Tidak ada yang salah dengan pendapat ente Sob. Hanya saja jika dikasih pilihan antara menghitung pahalanya Allah yang berlipat-lipat itu dan menghitung receh hasil parkiran ini, maka saya lebih memilih menghitung recehan" Jawab Awwam sambil menepuk-nepuk tas pinggangnya yang penuh receh.

"Allah itu maha fair, maha menepati janji-Nya. Gak kayak kita kalo gak diitung-itung bakal korupsi. Lagipula, kalaupun mau menghitung, maka hitunglah seberapa ke-khilafan yang kita perbuat di hidup yang sempit ini. Dan ke-khilafan terbesar saya saat ini adalah kurang setoran duit parkir" Terang awwam sambil berlalu karena ada mobil yang mau keluar, meninggalkan temannya yang masih bengong gak jelas.

Wah..parah bener lo Wam..!

Jumat, 28 September 2012

cerita humor: kucing enom

bagol lagi bingung ra duwe duit, nah nang dalan ketemu daplun,
bagol  diprentah nggolet kucing sing tesih nom sijine dibyar 100ewu.


kie critane:
daplun: gol raimu deneng lesu temen kaya kesed ya kue.??
bagol: dapurmu sie.. ora duwe duit plun.. utange akeh koh..
daplun: geh gol.. golet kucing enom nganah gawa ngumahku sijine 100ewu..
bagol: temenan apa.. ya tek golete.



(3 jam kemudian bagol meng umaeh daplun nggawa 3 bayi kucing, tangane mbi raine rodal radil dicakari biung kucing)


bagol: daplun.. kie nyong ulih 3 bayi kucing plun.. enom-enom banget mbok.?? hahaha (bagol bungah)
daplun: nom kepiwe lah.. kie ya nu wis tua kabeh gol.??
bagol: wis tua plun.?? koe kelilipen apa katarak.?? genah-genah kue bayi kucing koh...tua.?? (mandan kesuh)
daplun: ya tua gol.. wong wis metu untu karo kumise kuweh deleng.??
bagol: oooo..digilmu sih.!! kucing lair ya wis ana kaya kuene.. Kentir pancen koe. JEDERR..GRUMBYANG..BRESS.. (bagol lunga mbi nempang saka emper)

Profesor Linglung mudik numpak sepur

Sawijining dina, Profesor Dalban numpak sepur Purwojaya jurusan Jakarta-Cilacap. Critane arep mudik riyaya balik maring  kampung.

Pas Kondektur arep mriksa karcis sing kaping pindo, Profesor mau madan linglung lan gugup merga karcise ilang. Wis de goleti ming sak klambi, kathok, ning njero tas ora ketemu.

Nanging Kondektur sepur kemutan nek pas mriksa karcis sing kepisan deweke wis mbolongi karcise Profesor.

Kondektur (asline sekang Kroya): "Inyong yakin, Pak Profesor, rika wis nduwe karcis merga pas sepisan tek priksa mau inyong kemutan nek wis mbolongi karcise rika. Pak Profesor mboten sah gugup, mboten usah bingung lan mboten usah tuku karcis maning. Sekecaaken mawon gole lenggahan!"

Profesor : "Ko ndisit kiye Pak Kendur eh..Pak Kondektur......
Bisane inyong ora usah gugup si pimen, merga karcise inyong ilang dadine inyong kelalen arep mudun stasiun ngendi kiye mengko?

Kondektur: #!??@#$$%^&(ngonoh mudun ming alun-alun be olih...)

CURANPIT (Curahan Perasaan Pitik)



Dulur ngapakers, critane kiye inyonge arep melu-melu kaki Samidi. Nek Kaki Samidi nduwe crita arane CURANMOR (Curahan Perasaan dan Humor) , kiye inyong nduwe crita judule CURANPIT (Curahan Perasaan Pitik). Critane kaya kiye...

Pitik : Nyong jan gething banget karo sing jenengé menungsa...
Sapi : Lha pimén si...dénéng rika ngomong kaya kuwé?
Pitik : Rika ora ngerti si ya..nyong jan nembé mangan beras setithik ning pedhangan bé wis digusah2, diusir-usir lan dipathak kambi watu. Padahal menungsa kuwe enggal dina mangan endog lan mangan daging pithik. Kaya kiyé mbok jenengé ora adil...
Sapi : Ujaré rika thok apa sing gething karo sing jenenge menungsa!
Pitik : Lha si ko kenangapa..pi?
Sapi : Ko si mendhing mung de gusah2, de pathak karo watu..Njajal bayangna lan rasakna kaya inyong..
Enggal dina susuné inyong de mek-mek, de elus-elus, de penjet2..., nanging apa kuwé sing jenengé menungsa gemblung ora nduwé peri kekéwanan.
Ora tau jere dijék nikah, apa maning dilamar....Jiyan pancén menungsa gemblung njimblung...ujaré inyong sapi jablay apa!!!! Nek bisa ta tek bithi sisan nggawe..

Kesamber Bledeg

Beginilah kira-kira ceritane…
Pada suatu malam. Desa Sumingkir diguyur hujan yang sangat lebat. Geledek menggelegar dan kilat menyambar-nyambar. Mungkin bagi sebagian warga keadaan kiye tidak begitu berpengaruh. Malah tambah anget nggo turu, iya mbok sedulur?
Tapi keadaan ini tidak berlaku bagi penjaga rel nang kidul sampir. Anda-anda sekalian bisa membayangkan betapa sepi, dingin, dan menakutkannya berdiam sendiri dipos pada waktu itu. Hujan makin deras, dan kilat makin menyambar-nyambar.

Sungguh malang nasib penjaga rel malam itu.
Adalah bapak siapa ya kae jenenge, penjaga sing umaeh nang ciwuntu. Tiba-tiba kilat menyabar pos penjagaan, leeeeeeeepppp duuueeeeeeeeeeeeeerrrrrr… Lampu bohlam mati. Aliran listrik putus. Sumingkir menjadi gelap gulita alias peteng ndedet. Dan apa yang terjadi pada sipenjaga rel?
Pingsan. Sang penjaga rel pingsan tanpa ada yang menolong sedulur. Sangat menyedihkan bukan sedulur? Setelah 2 jam berlalu, sang penjaga rel siuman. Sadar dari pingsan dan masih sendiri belum ada yang menolong. Melasi banget yah… jan kaya ngapa rasane jejel?
Lalu kira-kira apa yang terjadi selanjutnya sedulur? Dengan tertatih-tatih malah mbrangkang alias merangkak pak penjaga pitu sepur menuju warunge mikun. Karena tempat mikun paling dekat dengan tempat kejadian perkara.
Namun apa yang terjadi disana sedulur? Kita simak ceritanya…
“kun, mikun…”
“kuuuun”
“mikuuuun”
Pak penjaga rel memanggil-manggil kang Mikun dengan suara yang begitu lemah. Bukan tidak mendengar panggilan tersebut, kang Mikunkaro bojone malah berdiskusi.
”men mas, ora usah dibukakena lawang, sapa sih nggaggu wis mbengi kaya kiye, ora ngerti wektu temen”
“iya, men ora arep tek bukak lawange”
Mikun karo bojone saling berbisik-bisik. Namun suara di luar tak kunjung berhenti. Kun, mikan mikun terus terdengar walau dengan suara lemah. Sampai akhirnya si mikun buka suara.
”sapa ya?” dengan suara membentak
”aku kun”
“aku sapa?”
“aku kun”
Akhirnya mikun membuka pintu.
”Innalillahi, rika kenangapa pak?”
”Kun tilikna apa gegerku bolong?”
Mikun dalam keadaan kaget banget terus berusaha memeriksa keadaan pak penjaga pintu sepur.
”ora pak, ora nangapa gegere rika. Ceritane kepriwe nganti kaya kiye. Wis ngeneh mlebu disit. Crita nang njero bae.”
Akhirnya malem itu si penjaga pintu sepur tidur dirumah mikun. Dan alhamdulillah keadaannya sekarang sudah pulih. Nek kepengin krungu ceritanya langsung ya gari takon aring bojone mikun pasti anda-anda akan disambut dengan ngguyu geget banget darinya. Aneh ya? Musibah koh nggo hiburan…hahahahahahahaha…

Pesan ibu

Suatu hari, tampak seorang pemuda tergesa-gesa memasuki sebuah restoran karena kelaparan sejak pagi belum sarapan. Setelah memesan makanan, seorang anak penjaja kue menghampirinya, "Om, beli kue Om, masih hangat dan enak rasanya!"
"Tidak Dik, saya mau makan nasi saja," kata si pemuda menolak.
Sambil tersenyum si anak pun berlalu dan menunggu di luar restoran.
Melihat si pemuda telah selesai menyantap makanannya, si anak menghampiri lagi dan menyodorkan kuenya. Si pemuda sambil beranjak ke kasir hendak membayar makanan berkata,
"Tidak Dik, saya sudah kenyang."
Sambil terus mengikuti si pemuda, si anak berkata, "Kuenya bisa dibuat oleh-oleh pulang, Om."
Dompet yang belum sempat dimasukkan ke kantong pun dibukanya kembali. Dikeluarkannya dua lembar ribuan dan ia mengangsurkan ke anak penjual kue. "Saya tidak mau kuenya. Uang ini anggap saja sedekah dari saya."
Dengan senang hati diterimanya uang itu. Lalu, dia bergegas ke luar restoran, dan memberikan uang pemberian tadi kepada pengemis yang berada di depan restoran.
Si pemuda memperhatikan dengan seksama. Dia merasa heran dan sedikit tersinggung. Ia langsung menegur, "Hai adik kecil, kenapa uangnya kamu berikan kepada orang lain? Kamu berjualan kan untuk mendapatkan uang. Kenapa setelah uang ada di tanganmu, malah kamu berikan ke si pengemis itu?"
"Om, saya mohon maaf. Jangan marah ya. Ibu saya mengajarkan kepada saya untuk mendapatkan uang dari usaha berjualan atas jerih payah sendiri, bukan dari mengemis. Kue-kue ini dibuat oleh ibu saya sendiri dan ibu pasti kecewa, marah, dan sedih, jika saya menerima uang dari Om bukan hasil dari menjual kue. Tadi Om bilang, uang sedekah, maka uangnya saya berikan kepada pengemis itu."
Si pemuda merasa takjub dan menganggukkan kepala tanda mengerti. "Baiklah, berapa banyak kue yang kamu bawa? Saya borong semua untuk oleh-oleh." Si anak pun segera menghitung dengan gembira.
Sambil menyerahkan uang si pemuda berkata, "Terima kasih Dik, atas pelajaran hari ini. Sampaikan salam saya kepada ibumu."
Walaupun tidak mengerti tentang pelajaran apa yang dikatakan si pemuda, dengan gembira diterimanya uang itu sambil berucap, "Terima kasih, Om. Ibu saya pasti akan gembira sekali, hasil kerja kerasnya dihargai dan itu sangat berarti bagi kehidupan kami."
===================================================
Ini sebuah ilustrasi tentang sikap perjuangan hidup yang POSITIF dan TERHORMAT. Walaupun mereka miskin harta, tetapi mereka kaya mental! Menyikapi kemiskinan bukan dengan mengemis dan minta belas kasihan dari orang lain. Tapi dengan bekerja keras, jujur, dan membanting tulang.
Jika setiap manusia mau melatih dan mengembangkan kekayaan mental di dalam menjalani kehidupan ini, lambat atau cepat kekayaan mental yang telah kita miliki itu akan mengkristal menjadi karakter, dan karakter itulah yang akan menjadi embrio dari kesuksesan sejati yang mampu kita ukir dengan gemilang.

Berhentilah Jadi Gelas

Berhentilah Jadi Gelas Seorang guru sufi mendatangi seorang muridnya ketika wajahnya belakangan ini selalu tampak murung. "Kenapa kau selalu murung, nak? Bukankah banyak hal yang indah di dunia ini? Ke mana perginya wajah bersyukurmu?" sang Guru bertanya. "Guru, belakangan ini hidup saya penuh masalah. Sulit bagi saya untuk tersenyum. Masalah datang seperti tak ada habis-habisnya," jawab sang murid muda. Sang Guru terkekeh. "Nak, ambil segelas air dan dua genggam garam. Bawalah kemari.
Biar kuperbaiki suasana hatimu itu." Si murid pun beranjak pelan tanpa semangat. Ia laksanakan permintaan gurunya itu, lalu kembali lagi membawa gelas dan garam sebagaimana yang diminta. "Coba ambil segenggam garam, dan masukkan ke segelas air itu," kata Sang Guru. "Setelah itu coba kau minum airnya sedikit." Si murid pun melakukannya. Wajahnya kini meringis karena meminum air asin. "Bagaimana rasanya?" tanya Sang Guru. "Asin, dan perutku jadi mual," jawab si murid dengan wajah yang masih meringis. Sang Guru terkekeh-kekeh melihat wajah muridnya yang meringis keasinan. "Sekarang kau ikut aku." Sang Guru membawa muridnya ke danau di dekat tempat mereka. "Ambil garam yang tersisa, dan tebarkan ke danau." Si murid menebarkan segenggam garam yang tersisa ke danau, tanpa bicara. Rasa asin di mulutnya belum hilang. Ia ingin meludahkan rasa asin dari mulutnya, tapi tak dilakukannya. Rasanya tak sopan meludah di hadapan mursyid, begitu pikirnya. "Sekarang, coba kau minum air danau itu," kata Sang Guru sambil mencari batu yang cukup datar untuk didudukinya, tepat di pinggir danau. Si murid menangkupkan kedua tangannya, mengambil air danau, dan membawanya ke mulutnya lalu meneguknya. Ketika air danau yang dingin dan segar mengalir di tenggorokannya, Sang Guru bertanya kepadanya, "Bagaimana rasanya?" "Segar, segar sekali," kata si murid sambil mengelap bibirnya dengan punggung tangannya. Tentu saja, danau ini berasal dari aliran sumber air di atas sana. Dan airnya mengalir menjadi sungai kecil di bawah. Dan sudah pasti, air danau ini juga menghilangkan rasa asin yang tersisa di mulutnya. "Terasakah rasa garam yang kau tebarkan tadi?" "Tidak sama sekali," kata si murid sambil mengambil air dan meminumnya lagi. Sang Guru hanya tersenyum memperhatikannya, membiarkan muridnya itu meminum air danau sampai puas. "Nak," kata Sang Guru setelah muridnya selesai minum. "Segala masalah dalam hidup itu seperti segenggam garam. Tidak kurang, tidak lebih. Hanya segenggam garam. Banyaknya masalah dan penderitaan yang harus kau alami sepanjang kehidupanmu itu sudah dikadar oleh Allah, sesuai untuk dirimu. Jumlahnya tetap, segitu-segitu saja, tidak berkurang dan tidak bertambah. Setiap manusia yang lahir ke dunia ini pun demikian. Tidak ada satu pun manusia, walaupun dia seorang Nabi, yang bebas dari penderitaan dan masalah." Si murid terdiam, mendengarkan. "Tapi Nak, rasa `asin' dari penderitaan yang dialami itu sangat tergantung dari besarnya 'qalbu'(hati) yang menampungnya. Jadi Nak, supaya tidak merasa menderita, berhentilah jadi gelas. Jadikan qalbu dalam dadamu itu jadi sebesar danau."

Ibnu Hajar dan Batu

Ia adalah seorang anak yatim, Ayahnya meninggal pada saat ia masih berumur 4 tahun dan ibunya meninggal ketika ia masih balita. Di bawah asuhan kakak kandungnya, ia tumbuh menjadi remaja yang cerdas dan iffa ( menjaga diri dari dosa ) dan sangat berhati-hati dalam menjalani kehidupannya serta memiliki kemandirian yang tinggi. Ibnu hajar Al-Asqalani itulah namanya. Beliau dilahirkan pada tanggal 22 sya’ban tahun 773 Hijriyah di pinggiran sungai Nil di Mesir.


Nama asli beliau adalah Ahmad bin Ali bin Muhammad bin Muhammad bin Ali bin Mahmud bin Ahmad bin Hajar Al-Kannani Al-Qabilah yang berasal dari Al-Asqalan. Namun ia lebih masyhur dengan julukan Ibn Hajar Al Asqalani. Itu berawal dari kisah beliau dengan batu yang ia jadikan sebagai awal motivasinya dan keinginannya yang kuat untuk belajar. Kisah itu bermula ketika beliau masih belajar disebuah madrasah, ia terkenal sebagai murid yang rajin namun ia selalu tertinggal jauh dari teman-temannya. Bahkan sering lupa dengan pelajaran-pelajaran yang telah di ajarkan oleh gurunya di sekolah yang membuatnya patah semangat dan frustasi.

Beliaupun meminta izin kepada gurunya untuk meninggalkan sekolahnya. Dalam kegundahan hatinya meninggalkan sekolahnya hujan pun turun dengan sangat lebatnya, mamaksa dirinya untuk berteduh didalam sebuah gua. Ketika berada didalam gua pandangannya tertuju pada sebuah tetesan air yang menetes sedikit demi sedikit jatuh melubangi sebuah batu, ia pun terkejut. Beliau pun berguman dalam hati, sungguh sebuah keajaiban. Bagaimana mungkin batu itu bisa terlubangi hanya dengan setetes air. Ia terus mengamati tetesan air itu dan mengambil sebuah kesimpulan bahwa batu itu berlubang karena tetesan air yang terus menerus.

Dari peristiwa itu, seketika ia tersadar bahwa betapapun kerasnya sesuatu jika ia di asah trus menerus maka ia akan manjadi lunak. Batu yang keras saja bisa terlubangi oleh tetesan air apalagi kepala saya yang tidak menyerupai kerasnya batu. Jadi kepala saya pasti bisa menyerap segala pelajaran jika dibarengi dengan ketekunan, rajin dan sabar. Sejak saat itu semangatnya pun kembali tumbuh lalu beliau kembali ke sekolahnya dan menemui Gurunya dan menceritakan pristiwa yang baru saja ia alami. Melihat semangat tinggi yang terpancar dijiwa beliau, gurunya pun berkenan menerimanya kembali untuk menjadi murid disekolah itu.

Sejak saat itu perubahan pun terjadi dalam diri Ibnu Hajar. Beliau manjadi murid yang tercerdas dan malampaui teman-temannya yang telah manjadi para Ulama besar dan ia pun tumbuh menjadi ulama tersohor dan memiliki banyak karangan dalam kitab-kitab yang terkenal dijaman kita skrang ini.

Catatan:
“Kisah Beliau diatas bisa menjadi motivasi bagi kita semua, bahwa sekeras apapun itu dan sesusah apapun itu jika kita betul2 ikhlas dan telaten serta continue dalam belajar niscaya kita akan menuai kesuksesan. Jangan pernah mengeluarkan kata-kata menyerah atau kalah.

Ingatlah wahai kawan…
“ Kegagalan bukan akhir dari segalanya, tapi kegagalan adalah sebuah keberhasilan yang tertunda”.

Dan ketahuilan wahai teman…”Man jadda wajada” siapa yang bersungguh-sungguh maka dapatlah ia.

Dan satu lagi yang perlu kita perhatikan, bahwa kunci dari segala kesuksesan ada pada diri kita sendiri. Ini sejalan dengan firman Allah :
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum, sampai ia sendirilah yang mengubah keadaan mereka sendiri” ( QS. Ar Rad : 11 ).

Kamis, 27 September 2012

Don't be Suudzon with Allah SWT

Ada seseorang yang rajin berdoa, minta sesuatu sama Allah.


 Orangnya sholeh. Ibadahnya baik. Tapi doa tak kunjung terkabul.  Sebulan menunggu masih belum terkabul juga. Tetap dia berdoa. 3 bulan juga belum. Tetap dia berdoa . Hingga hampir 1 tahun doa yang ia panjatkan, belum terkabul
juga.



Dia melihat teman kantornya. Orangnya biasa saja. Tak istimewa. Sholat masih bolong-bolong. Kelakuannya juga sering nggak beres, sering tipu-tipu, bohong sana- sini.
 Tapii  anehnya, apa yang dia doain, semuanya dipenuhi.


 Orang sholeh ini pun heran. Akhirnya, dia pun dateng keseorang ustadz. Ceritalah dia permasalahan yang sedang dihadapi. Tentang doanya yang sulit terkabul padahal dia taat, sedangkan temannya yang
bandel, malah dapat apa yang dia inginkan.

Tersenyumlah ustadz ini. Bertanyalah si ustadz ke orang ini,


  •  Ustad : Kalau Anda lagi duduk di warung, kemudian datang pengamen, tampilannya urakan, maen musiknya gak bener, suaranya fals, bagaimana?
  •  Orang sholeh tadi menjawab, : segera saya kasih pak ustadz, gak nahan ngeliat dan ndengerin dia lama-lama di situ, sambil nyanyi pula.
  •  Ustadz : Kalau pengamennya yang dating rapi, main musiknya enak, suaranya empuk, bawain lagu yang kamu suka, bagaimana? 
  • Orang Sholeh : Wah, kalo gitu, saya dengerin ustadz. Saya biarin dia nyanyi sampai habis. Lama pun nggak  masalah. Kalau perlu saya suruh nyanyi lagi. Nyanyi sampai sealbum pun saya rela. Kalau pengamen tadi saya kasih 500, yang ini 10.000 juga berani, ustadz.

Pak ustadz pun tersenyum. Begitulah nak. Allah ketika melihat engkau, yang sholeh, datang menghadap-Nya, Allah betah ndengerin doamu. Melihat kamu. Dan Allah pengen sering ketemu kamu dalam waktu yang lama. Buat Allah, ngasih apa yang kamu mau itu gampang betul. Tapi Dia pengen nahan kamu biar khusyuk, biar deket sama Dia.
Coba bayangin, kalo doamu cepet dikabulin, apa kamu bakal sedeket ini?


Dan di penghujung nanti, apa yang kamu dapatkan kemungkinan besar  jauh lebih besar dari apa yang kamu minta. Beda sama temenmu itu. Allah gak mau kayaknya, dia deket-deket sama Allah. Udah dibiarin biar bergelimang dosa aja dia ini. Makanya Allah buru-buru kasih aja. Udah. Jatahnya ya segitu doang. Gak nambah lagi. 


Dan yakinlah, kata pak ustadz , kalaupun apa yang kamu minta ternyata gak Allah kasih sampai akhir hidupmu, masih ada akhirat, nak. Sebaik-baik pembalasan adalah jatah surge buat kita. Nggak bakal ngerasa kurang kita di situ.


Tersadarlah orang tadi. Ia pun beristighfar, sudah berprasangka
buruk kepada Allah. Padahal Allah betul- betul amat menyayanginya.

Pemburu dan Peternak Domba

Keluarga pemburu dan peternak yang bertetangga. Untuk membantu saat berburu, si pemburu memiliki anjing-anjing peliharaan yang galak namun kurang terlatih. Celakanya, saat di rumah, anjing-anjing itu sering melompati pagar dan melukai domba-domba si peternak.

Walaupun sudah diperingatkan untuk menjaga anjing-anjingnya, si pemburu tidak mau peduli. Hingga suatu hari, kembali salah satu domba diserang dan terluka cukup parah.


Habislah kesabaran si peternak! Setelah berpikir lama, ia memutuskan pergi ke kota untuk menemui seorang hakim yang bijaksana. Setelah sang hakim mendengarkan cerita si peternak itu, dia berkata bijak, "Peternak yang baik, saya sebagai hakim, terhadap aduanmu, bisa saja menghukum si pemburu untuk mengganti kerugianmu dan memerintahkan dia untuk merantai atau mengurung anjing-anjingnya. Tetapi, bila itu saya lakukan, kamu akan kehilangan seorang teman. Mana yang lebih kamu inginkan, teman atau musuh yang jadi tetanggamu?"

"Pak Hakim, jujur saja, walapun saya merasa dirugikan secara materi, tetapi saya tidak ingin punya musuh, apalagi tetangga yang telah menjadi kawan saya sedari kecil," kata si peternak dengan suara murung.

"Jawaban yang baik dan bijak! Jika kamu ingin domba-dombamu aman tetapi tetanggamumenjadi teman yang baik, saya berikan sebuah saran...silakan kamu jalankan." Setelah mendengar saran sang hakim, si peternak langsung setuju.

Sesampainya di rumah, peternak itu segera menuju ke kandang dan memilih sepasang anak domba yang sehat, kemudian menghadiahkannya kepada anak-anak tetangganya. Keluarga si pemburu menerima hadiah itu dengan penuh sukacita. Tak lama, anak-anak pun asyik bermain dengan domba-domba kecil yang lucu dan keesokan harinya mulai berkunjung ke rumah si peternak untuk belajar merawat domba-domba tersebut.

Melihat kebahagiaan anak-anaknya, tanpa diminta, si pemburu dengan sukarela mengurung anjing-anjingnya agar tidak mengganggu domba-domba kecil kesayangan anak-anaknya. Dan sejak saat itu pula, domba-domba si peternak pun menjadi aman. Untuk membalas kebaikan si peternak, si pemburu selalu membagi hasil buruannya ke si peternak. Si peternak membalasnya dengan mengirimkan susu dan keju dari hasil dari peternakannya.

Akhirnya...singkat cerita, si pemburu dan si peternak pun kembali bertetangga dengan bahagia.

Netter yang Luar Biasa!

Cara terbaik untuk "mengalahkan" dan mempengaruhi orang adalah dengan kebajikan dan belas kasih. Seperti dicontohkan pada cerita di atas, saat keburukan dan sifat ego dibalas dengan kebaikan, ternyata hasilnya membawa manfaat dan kebahagiaan bersama.

Demikian pula di kehidupan ini, saat ego dikalahkan maka kemenangan akan memihak kepada kita. Saat perbuatan baik kita lakukan, sesungguhnya kita sedang melindungi diri sendiri dari kemalangan yang mungkin sedang mengintai.

Mari, mulai membantu dan memberi perhatian kepada orang-orang di sekitar kita.

Orang-Orang Buta dan Gajah

Kisah Bijak Para Sufi: Orang-Orang Buta dan Gajah
Alkisah, di seberang Negeri Ghor ada sebuah kota. Semua penduduknya buta. Seorang raja beserta rombongannya lewat dekat kota itu; ia membawa pasukan dan berkemah di gurun. Raja itu mempunyai seekor gajah perkasa, yang digunakannya untuk berperang dan membuat rakyat kagum.
Penduduk kota itu sangat antusias ingin melihat gajah tersebut, dan beberapa dari mereka yang buta pun berlari untuk mendekatinya.

Karena sama sekali tak tahu rupa atau bentuk gajah, mereka hanya bisa meraba-raba, mencari kejelasan dengan menyentuh bagian tubuhnya. Masing-masing hanya menyentuh satu bagian, tetapi berpikir telah mengetahui sesuatu.
Orang buta pertama mendekati gajah. Ia tersandung dan ketika terjatuh, ia menabrak sisi tubuh gajah yang kokoh. “Oh, sekarang aku tahu!” katanya, “Gajah itu seperti tembok.”
Orang buta kedua meraba gading gajah. “Mari kita lihat...,” katanya, “Gajah ini bulat, licin dan tajam. Jelaslah gajah lebih mirip sebuah tombak.”
Yang ketiga kebetulan memegang belalai gajah yang bergerak menggeliat-geliat. “Kalian salah!” jeritnya, “Gajah ini seperti ular!”
Berikutnya, orang buta keempat melompat penuh semangat dan jatuh menimpa lutut gajah. “Ah!” katanya, “Bagaimana kalian ini, sudah jelas binatang ini mirip sebatang pohon.”
Yang kelima memegang telinga gajah. “Kipas!” teriaknya, “Bahkan orang yang paling buta pun tahu, gajah itu mirip kipas.”
Orang buta keenam, segera mendekati sang gajah, ia menggapai dan memegang ekor gajah yang berayun-ayun. “Aku tahu, kalian semua salah.” Katanya. Gajah mirip dengan tali.”
Sekembalinya ke kota, orang-orang yang hendak tahu segera mengerubungi mereka. Orang-orang itu tidak sadar bahwa mereka mencari tahu tentang kebenaran kepada sumber yang sebenamya telah tersesat.
Mereka bertanya tentang bentuk dan wujud gajah, dan menyimak semua yang disampaikan.
Orang yang menubruk bagian tubuh gajah yang kokoh  ditanya tentang bentuk gajah. Ia menjawab, "Gajah itu besar, terasa kasar, luas, dan kokoh seperti tembok."
Orang yang tangannya meraba gading gajah berkata, "Engkau keliru, aku tahu yang lebih benar tentang bentuk gajah. Gajah itu mirip tombak bulat, licin dan tajam."
Orang yang meraba belalai gajah berkata, "Kalian berdua keliru, aku tahu yang lebih benar tentang bentuk gajah.
Gajah itu mirip ular menggeliat, mengerikan dan suka merusak."
Selanjutnya,  orang yang memegang kaki gajah berkata, "Gajah itu kuat dan tegak, seperti batang.”
Orang yang memegang telinga gajah berkata, "Gajah seperti kipas, lebar dan kasar."
Terakhir, orang yang memegang ekor gajah berkata, "Sudah kukatakan, kalian semua salah! Gajah itu berayun-ayun seperti tali!"
Demikianlah keenam orang buta itu bertengkar. Masing-masing tidak mau mengalah. Semua teguh dengan pendapatnya sendiri, yang sebagian benar, namun semuanya salah. Mereka semua hanya meraba bagian tubuh gajah yang berlainan, mereka tidak melihat keseluruhan hewan gajah itu sendiri, masyarakat pun ada yang percaya kepada yang satu dan tidak percaya kepada yang lain, ada juga yang tidak mempercayai kesemuanya dan ada sedikit yang bisa menyimpulkan keseluruhan pendapat para orang buta.

**** ****
Sahabatku,
Umat saat ini telah kehilangan gambaran yg utuh tentang Islam, mereka mengenali Islam dan memang diperkenalkan kepada Islam secara parsial saja oleh para pemandunya. Di satu sisi, ada yang memperkenalkan Islam hanya sebatas akhlak sehingga umat beranggapan bahwa Islam ya sebatas akhlak dan perbaikannya, di sisi yang lain ada yang memperkenalkan islam sebatas ibadah mahdlah sehingga umat beranggapan bahwa islam jauh dari pengurusan umat/politik dan merasa jijik ketika beraktivitas dengannya. Padahal, setiap hari, setiap jam bahkan setiap detik umat bersentuhan dengan aktivitas politik dan menjadi korban akibat kesalahan basis dan derivat politik (baca: basis ideologi kapitalisme, derivat: demokrasi, sekularisme, liberalisme).

Tentu kita tidak mengatakan bahwa perbaikan akhlak, peningkatan kualitas-kuantitas ibadah adalah hal yang keliru, wah  wah, jelas bukan itu yang dimaksud, karena keduanya tentu akan berganjar pahala dari Allah swt. Jangan salah paham dulu ya. Fokus pembahasan kita disini adalah kaitan atau hubungan antara persepsi & aktivitas parsial yang dilakukan umat dengan dampaknya kepada kebangkitan yang sejati. Pertanyaannya cukup sederhana, apakah dengan perbaikan individu dan peningkatan frekuensi serta amplitudo ibadah secara otomatis akan menghantarkan kita kepada kebangkitan?
Apakah keberhasilan memperbaiki individu (akhlak-ibadah) akan serta merta menjadikan umat sebagai  masyarakat yang islami? sementara aturan yang diterapkan di negeri-negeri mereka adalah aturan kufur? sementara keamanan di dalam negeri mereka didominasi oleh orang kufur, fasik dan gemar melakukan maksiyat?
Jelas tidak, seribu kali tidak! kenapa?
karena unsur pembentuk individu sudah berbeda dengan unsur pembentuk masyarakat. Pilar-pilar individu adalah akidah, ibadah, akhlak dan muamalah. Baik-buruknya individu sangat bergantung pada baik-buruknya unsur atau pilar pembentuknya. Sementara pilar-pilar masyarakat adalah pemikiran, perasaan dan aturan yang sama. Baik-buruknya masyarakat bergantung pada baik-buruknya pemikiran, perasaan, dan aturan-aturannya. karena unsur pembentuk keduanya berbeda, tentu upaya untuk memperbaiki masyarakat berbeda dengan upaya memperbaiki individu.
hufh, Sayang sekali bukan, jika potensi dan gelora kebangkitan umat teredam hanya karena persepsi parsial telah terbangun dan terhujam begitu mendalam di benak mereka. Dan lebih parah lagi, kemunduran berpikir umat ini malah dijadikan sebagai legitimasi dan pendalilan sebagian kalangan aktifis dakwah (sebagian, hanya sebagian kok ;) yang menolak secara halus untuk mendukung  perjuangan penegakkan sistem syariah dalam rezim khilafah dengan metode kenabian (Syariah-Khilafah ala minhaj nubuwwah, bukan ala minhaj dimuqratiyah wa rosimaliyah-demokrasi kapitalisme) dengan alasan umat belum siap untuk menerima kebangkitan melalui perjuangan secara revolusioner dan totaliter.
Tentu, kita tidak bisa berdiam diri dan berpangku tangan membiarkan umat dan generasi baru  ini tumbuh dengan persepsi yang tidak utuh dan aktivitas yang parsial karena hal ini sangat fatal jika dibiarkan berlanjut. Kemunduran berpikir umat yang telah menjadi salah satu faktor keterpurukan  disegala bidang hendaknya menjadi sebuah faktor penguat kita untuk terus 'berdjoeang' menggoreskan pena kemuliaan (izzah) Islam, demi cinta kita yang begitu mendalam kepada umat, demi kedalaman aqidah kita yang menuntut 'perdjoeangan'  yang tak kenal henti, dan ingat, umat tidak serta merta menggantungkan secercah harapannya diatas ufuk timur; karena mereka percaya sepenuh hati bahwa masa depan mereka tergantung kepada kerja keras, kerja cerdas dan kerja ikhlas yang kita lakukan mulai saat ini.
Sahabatku,
di pundak kurus kita  umat menggantungkan harapan,
di kepalan tangan kita  umat mengharapkan masa depan.
di lisan kita umat mengharapkan pencerahan,
di hati kita umat merindukan kasih sayang,
di mata kita umat melihat sebuah kejayaan,
di atas keberanian kita umat berlindung, bergerak dan bangkit menuju lorong kebangkitan yang penuh dengan lautan pahala dan negeri syurga yang kekal abadi, penuh kenikmatan hakiki.
Sahabatku,
jika kita terlahir bukan untuk menjadi pemenang atas pertarungan ideologi demi meraih  peradaban yang hakiki, lantas untuk alasan apa kita lahir ke bumi ini? Bukankah kita dilahirkan sebagai pemenang? Bukankah kita dilahirkan untuk berjuang meraih kemuliaan dan kegemilangan umat di atas panji Islam, diatas Al-Qur'an dan as-Sunnah.
Sungguh jika suatu hari Khilafah tegak kembali, air mata kita pasti akan jatuh berlinang, hati kita akan riang tiada terperi karena perjalanan yang telah dititi. Perdjoeangan inilah yang akan menjadi kado amalan yang akan kita banggakan dihadapan Allah swt  kelak, yaitu ketika di yaumil akhir nanti, Allah SWT brtanya kepada kita :

"Wahai fulan/fulanah, apa yang telah engkau lakukan di dunia sehingga Aku harus memasukanmu ke SyurgaKu?"
Tentu kita semua berharap bisa berucap dengan penuh rasa bangga, saat itu air mata kita jatuh berlinang penuh cinta, segala penderitaan yang kita alami di dunia lenyap seketika, karena balasan yang akan diberikan Allah swt kepada kita, sungguh jika saat itu tiba, kita memohon kepada Allah swt agar kita bisa berucap lirih :
" Duhai Allah..  telah  ku jadikan hidupku sebagai pengabdian kepadaMu, telah kujadikan islam sebagai agama dan sistem hidupku, telah kujadikan Muhammad sebagai kekasihku dan suri teladanku, telah ku jadikan al-Qur'an petunjuk dan pedoman hidupku, dan  telah ku jadikan hidupku sebagai perjuangan kepada umatMu,  inilah persembahan
terbaikku,terimalah perjuangan hambaMu, ya Rabb..""
Wallahu'alam bi ash-shawwab.

Rabu, 26 September 2012

Kisah Mengharukan Bocah Dengan Perampok

perampok Kisah Mengharukan Bocah Dengan Perampok
Moore adalah seorang dokter terkenal dan dihormati, melalui tangannya sudah tak terhitung nyawa yang diselamatkan, dia tinggal disebuah kota tua di Prancis. 20 tahun yang lalu dia adalah seorang narapidana, kekasihnya mengkhianati dia lari kepelukan lelaki lain, karena emosinya dia melukai lelaki tersebut, maka dia dari seorang mahasiswa di universitas terkenal menjadi seorang narapidana, dia dipenjara selama 3 tahun.


Setelah dia keluar dari penjara, kekasihnya telah menikah dengan orang lain, karena statusnya sebagai bekas narapidana menyebabkannya ketika melamar pekerjaan menjadi bahan ejekan dan penghinaan.
Dalam keadaan sakit hati, Moore memutuskan akan menjadi perampok. Dia telah mengincar di bagian selatan kota ada sebuah rumah yang akan menjadi sasarannya, para orang dewasa dirumah tersebut semuanya pergi bekerja sampai malam baru pulang kerumah, didalam rumah hanya ada seorang anak kecil buta yang tinggal sendirian.
Dia pergi kerumah tersebut mencongkel pintu utama membawa sebuah pisau belati, masuk kedalam rumah, sebuah suara lembut bertanya, “Siapa itu?” Moore sembarangan menjawab, “Saya adalah teman papamu, dia memberikan kunci rumah kepadaku.”
Anak kecil ini sangat gembira, tanpa curiga berkata, “Selamat datang, namaku Kay, tetapi papaku malam baru sampai ke rumah, paman apakah engkau mau bermain sebentar dengan saya?” Dia memandang dengan mata yang besar dan terang tetapi tidak melihat apapun, dengan wajah penuh harapan, di bawah tatapan memohon yang tulus, Moore lupa kepada tujuannya, langsung menyetujui.
Yang membuat dia sangat terheran-heran adalah anak yang berumur 8 tahun dan buta ini dapat bermain piano dengan lancar, lagu-lagu yang dimainkannya sangat indah dan gembira, walaupun bagi seorang anak normal harus melakukan upaya besar sampai ke tingkat seperti anak buta ini.
setelah selesai bermain piano anak ini melukis sebuah lukisan yang dapat dirasakan didalam dunia anak buta ini, seperti matahari, bunga, ayah-ibu, teman-teman, dunia anak buta ini rupanya tidak kosong, walaupun lukisannya kelihatannya sangat canggung, yang bulat dan persegi tidak dapat dibedakan, tetapi dia melukis dengan sangat serius dan tulus.
“Paman, apakah matahari seperti ini?” Moore tiba-tiba merasa sangat terharu, lalu dia melukis di telapak tangan anak ini beberapa bulatan, “Matahari bentuknya bulat dan terang, dan warnanya keemasan.”
“Paman, apa warna keemasan itu?” dia mendongakkan wajahnya yang mungil bertanya, Moore terdiam sejenak, lalu membawanya ketempat terik matahari, “Emas adalah sebuah warna yang sangat vitalitas, bisa membuat orang merasa hangat, sama seperti kita memakan roti yang bisa memberi kita kekuatan.”
Anak buta ini dengan gembira dengan tangannya meraba ke empat penjuru, “Paman, saya sudah merasakan, sangat hangat, dia pasti akan sama dengan warna senyuman paman.” Moore dengan penuh sabar menjelaskan kepadanya berbagai warna dan bentuk barang, dia sengaja menggambarkan dengan hidup, sehingga anak yang penuh imajinatif ini mudah mengerti. Anak buta ini mendengar ceritanya dengan sangat serius, walaupun dia buta, tetapi rasa sentuh dan pendengaran anak ini lebih tajam dan kuat daripada anak normal, tanpa terasa waktu berlalu dengan cepat.
Akhirnya, Moore teringat tujuan kedatangannya, tetapi Moore tidak mungkin lagi merampok. Hanya karena kecaman dan ejekan dari masyarakat dia akan melakukan kejahatan lagi, berdiri di hadapan Kay dia merasa sangat malu, lalu dia menulis sebuah catatan untuk orang tua Kay,
“Tuan dan nyonya yang terhormat, maafkan saya mencongkel pintu rumah kalian, kalian adalah orang tua yang hebat, dapat mendidik anak yang demikian baik, walaupun matanya buta, tetapi hatinya sangat terang, dia mengajarkan kepada saya banyak hal, dan membuka pintu hati saya.”
Tiga tahun kemudian, Moore menyelesaikan kuliahnya di universitas kedokteran, dan memulai karirnya sebagai seorang dokter.
Enam tahun kemudian, dia dan rekan-rekannya mengoperasi mata Kay, sehingga Kay bisa melihat keindahan dunia ini, kemudian Kay menjadi seorang pianis terkenal, yang mengadakan konser ke seluruh dunia, setiap mengadakan konser, Moore akan berusaha menghadirinya, duduk disebuah sudut yang tidak mencolok, mendengarkan music indah menyirami jiwanya yang dimainkan oleh seorang pianis yang dulunya buta.
Ketika Moore mengalami kekecewaan terhadap dunia dan kehidupannya, semangat dan kehangatan Kay kecil yang buta ini yang memberikan kehangatan dan kepercayaan diri kepadanya, Kay kecil yang tinggal didalam dunia yang gelap, sama sekali tidak pernah putus asa dan menyia-nyiakan hidupnya, dia membuat orang menyadari betapa besar vitalitas dalam hidup ini, vitalitas dan semangat ini menyentuh ke dasar hati Moore.
Cinta dan harapan akan dapat membuat seseorang kehilangan niat melakukan kejahatan, sedikit harapan mungkin bisa menyembuhkan seorang yang putus asa, atau bahkan bisa mengubah nasib kehidupan seseorang atau kehidupan banyak orang, seperti Moore yang telah membantu banyak orang, ketika mengalami putus asa maka bukalah pintu hatimu, maka cahaya harapan akan menyinari hatimu.

Selasa, 25 September 2012

Nasruddin Hoja dan Cincin di Rumah Gelap Gulita

Suatu hari Nasruddin Hoja, sang sufi yang humoris, kehilangan cincin di dalam rumahnya yang gelap gulita. Anehnya, ia justru mencari cincinnya di halaman rumah, bukan di dalam rumahnya.

Bahkan, tetangganya pun turut serta membantu mencari cincin Nasruddin. Namun, saat dikatakan bahwa cincinnya hilang di dalam rumah, tetangganya jengkel dan meninggalkan Nasruddin sendirian. Kisah ini memberikan pelajaran berharga kepada kita, bahwa jika kehilangan suatu barang, maka carilah ia di tempat hilangnya, jangan mencari di tempat lain.


Tapi, kisah yang terkesan konyol itu tentu memiliki makna lain. Melalui kisah di atas, Nasruddin tampaknya ingin mengajarkan kepada kita makna berbeda di balik alasannya mencari cincin yang hilang itu di luar rumahnya. Dan, makna itu relevan pada masa kini.

Pertama, berapa banyak dari kita yang begitu bangga mencari idola atau tokoh panutan di luar rumah kita sen diri, di luar agama Islam? Kita seakan bangga ketika mengenal nama Karl Marx (tokoh komunis), Adolf Hitler (Nazi), Neil Armstrong (manusia pertama yang menjejakkan kaki di Bulan), dan Sigmund Freud (filosof). Atau, bahkan sejumah selebritas dunia seperti Ma riah Carey, Michael Jackson, Whitney Houston, dan Lady Gaga. Begitu pula dengan olahragawan top dunia lainnya.

Tapi, kita tidak pernah bangga dengan pemimpin umat ini, Nabi Muhammad SAW, teladan yang paling baik, dan khulafaur rasyidin seperti Abu Bakar, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, juga Ali bin Abi Thalib. Begitu pula dengan tokoh Muslim lainnya semacam Al-Biruni (tokoh astronomi), Ibnu Sina (kedokteran), al-Jabbar (matematika), Ibnu Rusyd (filosof), dan al-Khawarizmi.

Kedua, tentang rumah Nasruddin yang gelap gulita dan ia justru mencari cincinnya yang hilang itu di luar rumahnya. Ini bisa memberi pelajaran kepada kita bahwa rumah kita sesungguhnya sama dengan rumah Nasruddin, gelap gulita tanpa ada pelita atau cahaya (penerangan) sedikit pun.

Gelap gulita itu bukan semata-mata karena tidak ada lampu, tapi rumah kita gelap karena kita sendiri tak pernah mau meneranginya dengan cahaya ilahi. Kita berada dalam kegelapan karena kita disibukkan dengan urusan materi. Kita tak menerangi rumah kita dengan lantunan kalam ilahi atau shalat di dalamnya. Akibatnya rumah kita gelap gulita seperti kuburan.

Kita disibukkan dengan gadgetse perti ponsel, Blackberry, atau Ipad yang menjadi kebanggaan kita. Bahkan, hampir setiap hari kita bersentuhan dengan ponsel, tapi tak pernah menyentuh Alquran. Padahal, kalam ilahi merupakan cara kita berkomunikasi dengan Sang Pencipta Alam Semesta ini.

Rasulullah SAW sudah mengingatkan kita, “Hiasilah rumahmu dengan shalat dan (lantunan) Alquran.” (HR Bukhari). Dalam riwayat lain disebut kan, “Hiasilah rumahmu dengan shalat dan membaca Alquran, jangan jadikan ia seperti kuburan.”

Semoga kita bisa mengambil pelajaran dari kisah Nasruddin Hoja di atas, dengan menjadikan pemimpin umat (Rasulullah SAW) dan para tokoh Muslim sebagai teladan terbaik bagi kita. Selain itu, kita juga perlu memperbanyak cahaya penerangan rumah kita dengan membaca dan menadaburi Alquran. Wallahu a’lam.

Waspadai Sembilan Keturunan Setan

Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya setan itu hanya menyuruh kamu berbuat jahat dan keji, dan mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui.” (Al-Baqarah: 169).

Setan, makhluk yang sungguh menggemaskan—beragam cara mereka gunakan untuk menggelincirkan manusia. Tak hanya itu, setan juga selalu berusaha tak kenal lelah dan putus asa untuk menjauhkan kita dari ibadah maupun menjadikan manusia durhaka pada Allah.


Karena memang sifatnya yang pembangkang, tugas setan jelas, mencari sebanyak-banyaknya teman untuk menemani mereka di neraka kelak. Misi setan sudah jelas bagi kita semua, menggangu, menggoda, datang dari arah manapun, dan menggelincirkan manusia seluruhnya agar makin jauh dengan Allah SWT. Nabi Adam pun pernah digoda hingga beliau melakukan apa yang dilarang Allah. Berbagai cara setan menjatuhkan manusia ke dalam lubang kehinaan.

Karena busuknya metode setan dalam menenggelamkan manusia ke lembah kekufuran itulah, Rasulullah SAW bersabda, “Anak keturunan setan ada sembilan, yaitu Zalitun, Watsin, Laqus, A’wan, Haffaf, Murrah, Masuth, Dasim, dan Walhan.”

Adapun setan Zalitun ialah setan yang bertugas menggoda penghuni pasar dalam transaksi jual beli dengan menyuruh untuk melakukan kedustaan, penipuan, memuji-muji barang dagangan, mencuri timbangan dan bersumpah palsu.

Kedua, setan Watsin bertugas menggoda manusia yang tertimpa musibah agar tidak bersabar sehingga yang sebagian dari mereka yang berhasil digelincirkan setan berteriak histeris, menampar-nampar pipi dan sebagainya. Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya aku putus hubungan dengan orang-orang yang menjerit-jerit ketika kematian, mencukur rambut di kepalanya, atau bahkan merobek-robek bajunya ketika tertimpa musibah.” (HR. Bukhari Muslim).

Ketiga, setan A’wan—mereka bertugas menggoda para penguasa untuk berbuat zalim. Jabatan terkadang membuat seseorang lupa diri bahwa semua perbuatan kelak akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan pengadilan Allah SWT kelak. Cerminan penguasa zalim telah Allah contohkan dalam sosok yang sangat fenomenal, Firaun.

Keempat, setan Haffaf, yakni setan yang bertugas membujuk dan menggoda orang untuk menenggak minuman keras. Kelima, setan Murrah bertugas menggoda orang agar asyik bermain seruling atau alat musik berikut nyanyiannya.

Sebagai manusia, kita memang butuh hiburan. Namun, hiburan dalam Islam tentu sudah diatur dengan baik dan tidak berlebihan. Artinya, jangan sampai bermain musik menjadi prioritas utama kita sebagai manusia. Tugas manusia ialah ibadah. (QS. Adz-Dzariyat: 56).

Keenam, Setan Laqus bertugas menggoda untuk menyembah api. Menyembah api, atau apa pun selain Allah adalah salah satu bentuk kemusyrikan. Ketujuh, setan Masuth, menggoda manusia untuk menyebarkan berita-berita dusta lewat lisan manusia sehingga sulit ditemukan berita yang sebenarnya.

Kedelapan, setan Dasim, setan yang berada dalam rumah. Jika seseorang tidak mengucapkan salam sewaktu memasuki rumah dan tidak pernah menyebut asma Allah di dalamnya, maka setan akan mengadakan perselisihan di antara anggota keluarga sehingga akan terjadi talak, khulu, maupun tindak kekerasan.

Terakhir, setan Walhan, bertugas menggoda manusia dalam beribadah seperti berwudhu, shalat, dan ibadah-ibadah lain. Setan Walhan, menurut riwayat lain tugas utamanya adalah menggoda manusia saat berwudhu untuk boros dalam menggunakan air. Padahal sudah jelas bagi kita, perilaku boros dalam berwudhu ialah salah satu makruh wudhu.

Kami berlindung pada-Mu ya Allah, dari godaan setan yang terkutuk. Wallahu a’lam bish shawwab.

Tanda-Tanda Husnul Khatimah

Setiap yang bernyawa pasti akan tiba ajalnya (QS Ali-Imran [3]:185). Hanya saja waktu dan lokasinya adalah sebuah misteri. Manusia tidak dapat mengetahui dan menetapkan jadwal kematian, karena ini adalah rencana dari Allah SWT.

Kematian pula bukanlah kejadian biasa, tapi ia adalah peristiwa besar yang menyakitkan yang ditandai dengan terputusnya hubungan antara roh dan jasad, perubahan situasi dan adanya peralihan dari suatu alam ke alam lain.


Kematian berlaku dengan fenomena yang beraneka ragam, secara umum dapat dibagi kepada dua keadaan. Pertama, meninggal dunia dalam keadaan husnul khatimah (akhir hayat yang bagus).

Dan kedua, meninggal dunia dalam keadaan suul khatimah (akhir hayat yang buruk). Keadaan yang pertama menunjukkan suatu gambaran bahwa nasib yang akan dialami oleh si mayat setelah kematiannya akan bahagia.

Sebaliknya, keadaan yang kedua menggambarkan keburukan yang bakal dialaminya. Bagi orang yang meninggal dalam keadaan husnul khatimah mempunyai tanda-tanda tertentu yang sepatutnya diketahui oleh setiap individu, terutama kalangan umat Islam.

Tanda-tanda tersebut, di antaranya sebagai berikut. Pertama, mengucapkan kalimat tauhid (syahadah). Nabi SAW bersabda, “Barang siapa yang di akhir hayatnya mengucapkan la ilaha illallah (tidak ada Tuhan yang berhak untuk disembah, kecuali Allah SWT), maka ia masuk surga.” (HR Abu Dawud).

Kedua, dahi atau keningnya berkeringat. Sebuah riwayat dari Buraidah bin Hashib RA, dia berada di Khurasan. Lalu, saudaranya kembali kepadanya dalam keadaan sakit sehingga ia sempat menyaksikan kematiannya.

Saat saudaranya meninggal dunia, ia melihat keringat keluar dari dahinya, dan berkata, “Allahu Akbar”. Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Meninggalnya seorang Mukmin ditandai dengan keringat di dahinya.” (HR Tirmizi, Nasa’i, dan Ibn Majah).

Ketiga, meninggal dunia pada malam Jumat atau siang harinya. Tanda ini didasarkan pada hadis yang diriwayatkan Abdullah bin Umar RA. Dia mendengar bahwa Nabi SAW bersabda, “Tidaklah seorang Muslim meninggal dunia pada hari Jumat atau malamnya, melainkan Allah akan melindunginya dari fitnah siksa kubur.” (HR Tirmizi).

Keempat, mati syahid. Ada lima macam mati syahid yang disebutkan oleh Nabi Muhammad SAW, yakni disebabkan wabah (al-math’un), sakit perut ( al-mabthun), karam atau tenggelam (al-ghariq), tertimpa tanah runtuh (shahibul hadm), dan syahid dalam perang di jalan Allah. (HR Bukhari dan Muslim).

Itulah di antara tanda-tanda meninggal dunia secara husnul khatimah yang disebutkan oleh nabi dan rasul panutan kita, Nabi Muhammad SAW. Mudah-mudahan kelak kita termasuk ke dalam golongan orang-orang yang meninggal dunia dalam keadaan husnul khatimah (akhir yang baik), yakni golongan yang memperoleh hakikat kebahagiaan dan kemuliaan di sisi Allah SWT. Wallahu al-Musta’an.

Senin, 24 September 2012

2 sepeda, satu langit…

Ada sepasang suami-istri yang berjualan nasi kuning di sebuah kompleks perumahan di Jati Bening. Umur mereka sudah tidak muda lagi. Sang suami mungkin sudah berumur lebih dari 70, sedangkan istrinya sekitar 60-an. Di sekitar mereka ada beberapa gerobak lain yang juga menjual makanan untuk sarapan pagi. Tapi dari semuanya, hanya gerobak mereka yang paling sepi.
Setiap pagi, dalam perjalanan menuju ke kantor, saya selalu melewati gerobak mereka yang selalu sepi. Gerobak itu tidak ada yang istimewa. Cukup sederhana. Jualannya pun standar.

Setiap pagi pula, sepasang suami-istri itu duduk menjaga gerobak mereka dalam posisi yang selalu sama. Sang suami duduk di luar gerobak, sementara istrinya di sampingnya. Kalau ada pembeli, sang suami dengan susah payah berdiri dari kursi (kadang dipapah istrinya) dan dengan ramah menyapa pembeli. Jika sang pembeli ingin makan di tempat, sang suami merapikan tempat duduk, sementara istrinya menyiapkan nasi kuning dan menyodorkan piring itu pada suaminya untuk diberikan pada sang pelanggan. Kalau sang pembeli ingin nasi kuning itu dibungkus, sang istri menyiapkan nasi kuning di kertas pembungkus, dan menyerahkan nasi bungkusan itu pada suaminya untuk diserahkan pada sang pelanggan.
Saat sedang sepi pelanggan, pasangan suami-istri itu duduk diam. Sesekali jika istrinya agak terkantuk-kantuk, suaminya mengurut punggung istrinya. Atau jika suaminya berkeringat, sang istri dengan sigap mengambil sapu tangan dan mengelap keringat suaminya.
Kalau mau jujur, nasi kuning mereka tidak terlalu spesial. Sangat standar. Tapi, kalau saya mencari sarapan pagi, saya selalu membeli nasi kuning di tempat mereka. Bukan spesial-tidaknya. Tapi lebih karena cinta mereka yang membuat saya tergerak untuk selalu mampir.
Dalam kesederhanaan, kala susah dan sedih karena tidak ada pelanggan, mereka tetap bersama. Sang suami tidak pernah memarahi istrinya yang tidak becus masak. Sang istri pun tidak pernah marah karena gerakan suaminya yang begitu lamban dalam melayani pelanggan. Dia bahkan memberi kesempatan suaminya untuk melayani pelanggan.
Mereka selalu bersama, dan saling mendukung, bahkan di saat susah sekali pun. Hingga hari ini, sudah 10 tahun saya lewati tempat itu, mereka masih tetap di tempat yang sama, menjual nasi kuning, dan selalu bersikap sama. Penuh kesederhanaan. Penuh kasih sayang. Dan saling menguatkan di saat susah.
Jika Anda berkunjung ke Bekasi, Anda bisa mampir ke jalan raya komplek Jati Bening Indah. Tidak susah mencari gerobak mereka yang sederhana. Carilah gerobak yang paling sepi pelanggan. Mereka berjualan sejak pukul 07.00 hingga siang hari (mungkin sekitar 11.00, karena saya pernah ke kantor jam 11.00, mereka sudah tidak ada). Jujur, nasi kuning mereka sangat standar & tidak selengkap gerobak nasi kuning lain di sekeliling mereka. Namun, cinta kasih mereka membuat makanan yang sederhana itu terasa begitu nikmat. Cinta kasih yang begitu tulus, sederhana, apa adanya. Bahkan dalam kesusahan sekalipun, mereka tetap saling menguatkan.
Sebuah kisah cinta yang luar biasa. Mungkinkah kita bisa seperti mereka?
Semoga Allah melimpahkan rahmat buat kita semua. Amien.

Berharga dan Tak Berharga

Konon ada seorang raja yang memanggil seorang penasihat dan berkata kepadanya, "Kekuatan pikiran yang sejati bergantung pada pemeriksaan terhadap berbagai pilihan. Katakan padaku pilihan mana yang lebih baik meningkatkan pengetahuan rakyatku atau memberi mereka tambahan makanan. Kedua pilihan itu sama bermanfaat."

Sufi itu berkata, "Baginda, percuma saja memberikan pengetahuan kepada mereka yang tak dapat mengetahuinya, demikian pula sia-sia menambahkan makanan kepada mereka yang tak mengerti maksud baik Baginda.


Oleh karena itu, tidaklah benar menganggap bahwa 'kedua pilihan itu sama bermanfaat'. Bila mereka tak bisa mencerna makanan itu, atau bila mereka berpikir bahwa makanan itu diberikan untuk menyogok, atau malah membuat mereka berniat meminta lebih maka maksud Baginda akan gagal.

Jika mereka tak bisa menyadari bahwa mereka diberikan pengetahuan, atau bila mereka tak sanggup mengenali pengetahuan itu, atau bahkan tak mengetahui alasan Baginda memberikan pengetahuan itu kepada mereka, maka maksud Baginda itu akan kandas.

Untuk itu, pertanyaan harus diajukan secara bertahap. Tahap pertama adalah pertimbangan: 'Orang paling berharga sesungguhnya tak berharga dan orang paling tak berharga sebenarnya berharga.'"

"Terangkanlah kebenaran ini bagiku, sebab aku belum bisa memahaminya," kata raja itu.

Sang sufi kemudian memanggil ketua para darwis di Afghanistan, dan ia pun datang ke istana. "Kalau engkau mempunyai jalanmu, apa yang akan engkau suruhkan kepada seseorang di Kabul?" tanya sang sufi kepada darwis itu.

"Kebetulan ada seorang lelaki di dekat suatu tempat yang bila ia mengetahuinya, bisa mendapatkan kekayaan bagi dirinya dan juga kemakmuran bagi seluruh negeri itu, dengan memberikan sekeranjang buah ceri kepada orang miskin tertentu," kata darwis itu, yang mengetahui pertalian gaib antara berbagai hal.

Raja itu merasa senang, sebab para sufi tak biasanya memperbincangkan perihal semacam itu. "Bawa lelaki itu kemari dan kita akan membuatnya terjadi!" seru raja itu.

Para pejabat memberi raja itu isyarat agar tetap bersikap tenang. "Tidak," kata Sufi pertama, "Hal itu takkan terjadi kecuali bila dilakukan dengan ikhlas."

Agar tidak memengaruhi pilihan lelaki itu, mereka bertiga pergi ke pasar Kabul dengan menyamar. Dengan melepaskan sorban dan jubahnya, ketua sufi itu tampak sangat mirip dengan orang biasa.

"Aku akan ambil bagian dalam perihal yang menggairahkan ini," bisik raja itu, dan kelompok itu berdiri memandangi buah ceri. Ia mendekati penjualnya dan mengucapkan salam. Kemudian, ia berkata, "Aku kenal seorang miskin. Maukah kau memberinya sekeranjang ceri sebagai derma!"

Penjual itu tertawa terpingkal-pingkal. "Nah, aku sudah pernah mendengar beberapa tipuan, tetapi baru kali ini ada orang yang menginginkan buah ceri membungkuk untuk meminta agar buah ini diberikan sebagai derma!"

"Kau paham maksudku?" kata sufi pertama itu kepada raja. "Orang paling berharga di antara kita baru saja menyampaikan usul yang paling mulia, dan kejadian tadi membuktikan bahwa ia tak berharga bagi orang yang diajaknya bicara tadi."

"Tetapi bagaimana tentang 'orang paling tak berharga' menjadi orang berharga?" tanya raja itu. Kedua darwis itu memberinya isyarat agar mengikuti mereka.

Ketika mereka hendak menyeberangi sungai Kabul, kedua sufi itu tiba-tiba menyergap raja dan membuangnya ke sungai. Raja itu tak bisa berenang. Ketika raja itu merasa hampir tenggelam, seorang yang terkenal miskin dan tak waras yang berkelana di jalan-jalan, melompat ke sungai dan menyelamatkan raja serta membawanya ke tepi. Beberapa orang lain, yang lebih kuat, juga melihatnya jatuh ke air, tetapi mereka diam saja.

Tatkala raja sudah pulih, kedua darwis itu berkata serempak, "Orang paling tak berharga sesungguhnya berharga!"

Sejak saat itu, raja kembali pada kebiasaannya, yaitu memberi apa saja yang ia bisa, entah itu pendidikan atau berbagai macam pertolongan kepada orang-orang yang diputuskan dari masa ke masa sebagai yang paling pantas menerima pemberian semacam itu.

Dua orang yang baik, tapi, mengapa perkawinan tidak berakhir bahagia

Ibu saya adalah seorang yang sangat baik, sejak kecil, saya melihatnya dengan begitu gigih menjaga keutuhan keluarga. Ia selalu bangun dini hari, memasak bubur yang panas untuk ayah, karena lambung ayah tidak baik, pagi hari hanya bisa makan bubur.
 Setelah itu, masih harus memasak sepanci nasi untuk anak-anak, karena anak-anak sedang dalam masa pertumbuhan, perlu makan nasi, dengan begitu baru tidak akan lapar seharian di sekolah.
Setiap sore, ibu selalu membungkukkan badan menyikat panci, setiap panci di rumah kami bisa dijadikan cermin, tidak ada noda sedikikt pun. Menjelang malam, dengan giat ibu membersihkan lantai, mengepel seinci demi seinci, lantai di rumah tampak lebih bersih dibanding sisi tempat tidur orang lain, tiada debu sedikit pun meski berjalan dengan kaki telanjang.
Ibu saya adalah seorang wanita yang sangat rajin.
Namun, di mata ayahku, ia (ibu) bukan pasangan yang baik. Dalam proses pertumbuhan saya, tidak hanya sekali saja ayah selalu menyatakan kesepiannya dalam perkawinan, tidak memahaminya.
Ayah saya adalah seorang laki-laki yang bertanggung jawab.
 Ia tidak merokok, tidak minum-minuman keras, serius dalam pekerjaan, setiap hari berangkat kerja tepat waktu, bahkan saat libur juga masih mengatur jadwal sekolah anak-anak, mengatur waktu istrirahat anak-anak, ia adalah seorang ayah yang penuh tanggung jawab, mendorong anak-anak untuk berpretasi dalam pelajaran.
Ia suka main catur, suka larut dalam dunia buku-buku kuno. Ayah saya adalah seoang laki-laki yang baik, di mata anak-anak, ia maha besar seperti langit, menjaga kami, melindungi kami dan mendidik kami.
Hanya saja, di mata ibuku, ia juga bukan seorang pasangan yang baik, dalam proses pertumbuhan saya, kerap kali saya melihat ibu menangis terisak secara diam diam di sudut halaman.
Ayah menyatakannya dengan kata-kata, sedang ibu dengan aksi, menyatakan kepedihan yang dijalani dalam perkawinan.
 Dalam proses pertumbuhan, aku melihat juga mendengar ketidakberdayaan dalam perkawinan ayah dan ibu, sekaligus merasakan betapa baiknya mereka, dan mereka layak mendapatkan sebuah perkawinan yang baik. Sayangnya, dalam masa-masa keberadaan ayah di dunia, kehidupan perkawinan mereka lalui dalam kegagalan, sedangkan aku, juga tumbuh dalam kebingungan, dan aku bertanya pada diriku sendiri : Dua orang yang baik mengapa tidak diiringi dengan perkawinan yang bahagia?
Pengorbanan yang dianggap benar.
Setelah dewasa, saya akhirnya memasuki usia perkawinan, dan secara perlahan –lahan saya pun mengetahui akan jawaban ini. Di masa awal perkawinan, saya juga sama seperti ibu, berusaha menjaga keutuhan keluarga, menyikat panci dan membersihkan lantai, dengan sungguh-sungguh berusaha memelihara perkawinan sendiri. Anehnya, saya tidak merasa bahagia ; dan suamiku sendiri, sepertinya juga tidak bahagia.
 Saya merenung, mungkin lantai kurang bersih, masakan tidak enak, lalu, dengan giat saya membersihkan lantai lagi, dan memasak dengan sepenuh hati. Namun, rasanya, kami berdua tetap saja tidak bahagia. .
 Hingga suatu hari, ketika saya sedang sibuk membersihkan lantai, suami saya berkata : istriku, temani aku sejenak mendengar alunan Nasyid!
 Dengan mimik tidak senang saya berkata : apa tidak melihat masih ada separoh lantai lagi yang belum di pel ?
 Begitu kata-kata ini terlontar, saya pun termenung, kata-kata yang sangat tidak asing di telinga, dalam perkawinan ayah dan ibu saya, ibu juga kerap berkata begitu sama ayah. Saya sedang mempertunjukkan kembali perkawinan ayah dan ibu, sekaligus mengulang kembali ketidakbahagiaan dalam perkwinan mereka. Ada beberapa kesadaran muncul dalam hati saya.
Yang kamu inginkan ?
Saya hentikan sejenak pekerjaan saya, lalu memandang suamiku, dan teringat akan ayah saya…
Ia selalu tidak mendapatkan pasangan yang dia inginkan dalam perkawinannya, waktu ibu menyikat panci lebih lama daripada menemaninya. Terus menerus mengerjakan urusan rumah tangga, adalah cara ibu dalam mempertahankan perkawinan, ia memberi ayah sebuah rumah yang bersih, namun, jarang menemaninya, sibuk mengurus rumah, ia berusaha mencintai ayah dengan caranya, dan cara ini adalah mengerjakan urusan rumah tangga. Dan aku, aku juga menggunakan caraku berusaha mencintai suamiku. Cara saya juga sama seperti ibu, perkawinan saya sepertinya tengah melangkah ke dalam sebuah cerita, dua orang yang baik mengapa tidak diiringi dengan perkawinan yang bahagia.
Kesadaran saya membuat saya membuat keputusan (pilihan) yang sama.
Saya hentikan sejenak pekerjaan saya, lalu duduk di sisi suami, menemaninya mendengar Nasyid, dan dari kejauhan, saat memandangi kain pel di atas lantai seperti menatapi nasib ibu.
 Saya bertanya pada suamiku : apa yang kau butuhkan ?
Aku membutuhkanmu untuk menemaniku mendengar Nasyid, rumah kotor sedikit tidak apa-apa-lah, nanti saya carikan pembantu untukmu, dengan begitu kau bisa menemaniku! ujar suamiku.
Saya kira kamu perlu rumah yang bersih, ada yang memasak untukmu, ada yang mencuci pakaianmu….dan saya mengatakan sekaligus serentetan hal-hal yang dibutuhkannya.
 Semua itu tidak penting-lah! ujar suamiku. Yang paling kuharapkan adalah kau bisa lebih sering menemaniku.
Ternyata sia-sia semua pekerjaan yang saya lakukan, hasilnya benar-benar membuat saya terkejut.
Kami meneruskan menikmati kebutuhan masing-masing, dan baru saya sadari ternyata dia juga telah banyak melakukan pekerjaan yang sia-sia, kami memiliki cara masing-masing bagaimana mencintai, namun, bukannya cara pihak kedua.
Jalan kebahagiaan
Sejak itu, saya menderetkan sebuah daftar kebutuhan suami, dan meletakkanya di atas meja buku,
Begitu juga dengan suamiku, dia juga menderetkan sebuah daftar kebutuhanku. Puluhan kebutuhan yang panjang lebar dan jelas, seperti misalnya, waktu senggang menemani pihak kedua mendengar Nasyid, saling memeluk kalau sempat, setiap pagi memberi sentuhan selamat jalan bila berangkat.
Beberapa hal cukup mudah dilaksanakan, tapi ada juga yang cukup sulit, misalnya dengarkan aku, jangan memberi komentar. Ini adalah kebutuhan suami. Kalau saya memberinya usul, dia bilang akan merasa dirinya akan tampak seperti orang bodoh. Menurutku, ini benar-benar masalah gengsi laki-laki. Saya juga meniru suami tidak memberikan usul, kecuali dia bertanya pada saya, kalau tidak saya hanya boleh mendengar dengan serius, menurut sampai tuntas, demikian juga ketika salah jalan.
Bagi saya ini benar-benar sebuah jalan yang sulit dipelajari, namun, jauh lebih santai daripada mengepel, dan dalam kepuasan kebutuhan kami ini, perkawinan yang kami jalani juga kian hari semakin penuh daya hidup. Saat saya lelah, saya memilih beberapa hal yang gampang dikerjakan, misalnya menyetel Nasyid ringan, dan kalau lagi segar bugar merancang perjalanan keluar kota. Menariknya, pergi ke taman flora adalah hal bersama dan kebutuhan kami, setiap ada pertikaian, selalu pergi ke taman flora, dan selalu bisa menghibur gejolak hati masing-masing. Sebenarnya, kami saling mengenal dan mencintai juga dikarenakan kesukaan kami pada taman flora, lalu bersama kita menapak ke tirai merah perkawinan, kembali ke taman bisa kembali ke dalam suasana hati yang saling mencintai bertahun-tahun silam.
Bertanya pada pihak kedua : apa yang kau inginkan, kata-kata ini telah menghidupkan sebuah jalan kebahagiaan lain dalam perkawinan. Keduanya akhirnya melangkah ke jalan bahagia. Kini, saya tahu kenapa perkawinan ayah ibu tidak bisa bahagia, mereka terlalu bersikeras menggunakan cara sendiri dalam mencintai pihak kedua, bukan mencintai pasangannya dengan cara pihak kedua.
Diri sendiri lelahnya setengah mati, namun, pihak kedua tidak dapat merasakannya, akhirnya ketika menghadapi penantian perkawinan, hati ini juga sudah kecewa dan hancur. Karena Tuhan telah menciptakan perkawinan, maka menurut saya, setiap orang pantas dan layak memiliki sebuah perkawinan yang bahagia, asalkan cara yang kita pakai itu tepat, menjadi orang yang dibutuhkan pihak kedua! Bukannya memberi atas keinginan kita sendiri, perkawinan yang baik, pasti dapat diharapkan.
Update ::
wah ternyata ada 10 halaman yang persis isi tulisan ini, gak masalah, yah saya hanya senang aja bacanya, so kalo sekali2 saya butuh membaca ini, yah tinggal ke blog saya, dan cari judul artikel ini.

Tak Cukup Hanya Cinta

“Sendirian aja dhek Lia? Masnya mana?”, sebuah pertanyaan tiba-tiba
mengejutkan aku yang sedang mencari-cari sandal sepulang kajian tafsir
Qur’an di Mesjid komplek perumahanku sore ini. Rupanya Mbak Artha tetangga
satu blok yang tinggal tidak jauh dari rumahku. Dia rajin datang ke
majelis taklim di komplek ini bahkan beliaulah orang pertama yang aku

kenal disini, Mbak Artha juga yang memperkenalkanku dengan majelis taklim
khusus Ibu-ibu dikomplek ini. Hanya saja kesibukan kami masing-membuat
kami jarang bertemu, hanya seminggu sekali saat ngaji seperti ini atau
saat ada acara-acara di mesjid. Mungkin karena sama-sama perantau asal
Jawa, kami jadi lebih cepat akrab.
“Kebetulan Mas Adi sedang dinas keluar kota mbak, Jadi Saya pergi
sendiri”, jawabku sambil memakai sandal yang baru saja kutemukan diantara
tumpukan sandal-sendal yang lain. “Seneng ya dhek bisa datang ke pengajian
bareng suami, kadang mbak kepingin banget ditemenin Mas Bimo menghadiri
majelis-majelis taklim”, raut muka Mbak Artha tampak sedikit berubah
seperti orang yang kecewa. Dia mulai bersemangat bercerita, mungkin lebih
tepatnya mengeluarkan uneg-uneg. Sebenarnya aku sedikit risih juga karena
semua yang Mbak Artha ceritakan menyangkut kehidupan rumahtangganya
bersama Mas Bimo. Tapi ndak papa aku dengerin aja, masak orang mau curhat
kok dilarang, semoga saja aku bisa memetik pelajaran dari apa yang
dituturkan Mbak Artha padaku. Aku dan Mas Adi kan menikah belum genap
setahun, baru 10 bulan, jadi harus banyak belajar dari pengalaman pasangan
lain yang sudah mengecap asam manis pernikahan termasuk Mbak Artha yang
katanya sudah menikah dengan Mas Bimo hampir 6 tahun lamanya.
“Dhek Lia, ndak buru-buru kan? Ndak keberatan kalo kita ngobrol-ngobrol
dulu”, tiba-tiba mbak Artha mengagetkanku. ” Nggak papa mbak, kebetulan
saya juga lagi free nih, lagian kan kita dah lama nggak ngobrol-ngobrol” ,
jawabku sambil menuju salah satu bangku di halaman TPA yang masih satu
komplek dengan Mesjid.
Dengan suara yang pelan namun tegas mbak Artha mulai bercerita. Tentang
kehidupan rumah tangganya yang dilalui hampir 6 tahun bersama Mas Bimo
yang smakin lama makin hambar dan kehilangan arah.
“Aku dan mas Bimo kenal sejak kuliah bahkan menjalani proses pacaran
selama hampir 3 tahun sebelum memutuskan untuk menikah. Kami sama-sama
berasal dari keluarga yang biasa-biasa saja dalam hal agama”, mbak Artha
mulai bertutur. “Bahkan, boleh dibilang sangat longgar. Kami pun juga
tidak termasuk mahasiswa yang agamis. Bahasa kerennya, kami adalah
mahasiswa gaul, tapi cukup berprestasi. Walaupun demikian kami berusaha
sebisa mungkin tidak meninggalkan sholat. Intinya ibadah-ibadah yang wajib
pasti kami jalankan, ya mungkin sekedar gugur kewajiban saja. Mas Bimo
orang yang sabar, pengertian, bisa ngemong dan yang penting dia begitu
mencintaiku, Proses pacaran yang kami jalani mulai tidak sehat, banyak
bisikan-bisikan syetan yang mengarah ke perbuatan zina. Nggak ada pilihan
lain, aku dan mas Bimo harus segera menikah karena dorongan syahwat itu
begitu besar. Berdasar inilah akhirnya aku menerima ajakan mas Bimo untuk
menikah”.
“Mbak nggak minta petunjuk Alloh melalui shalat istikharah?” , tanyaku
penasaran. “Itulah dhek, mungkin aku ini hamba yang sombong,untuk urusan
besar seperti nikah ini aku sama sekali tidak melibatkan Alloh. Jadi kalo
emang akhirnya menjadi seperti ini itu semua memang akibat perbuatanku
sendiri”
“Pentingnya ilmu tentang pernikahan dan tujuan menikah menggapai sakinah
dan mawaddah baru aku sadari setelah rajin mengikuti kajian-kajian guna
meng upgrade diri. Sejujurnya aku akui, sama sekali tidak ada kreteria
agama saat memilih mas Bimo dulu. Yang penting mas Bimo orang yang baik,
udah mapan, sabar dan sangat mencintaiku. Soal agama, yang penting
menjalankan sholat dan puasa itu sudah cukup. Toh nanti bisa dipelajari
bersama-sama itu pikirku dulu. Lagian aku kan juga bukan akhwat dhek, aku
Cuma wanita biasa, mana mungkin pasang target untuk mendapatkan ikhwan
atau laki-laki yang pemahaman agamanya baik”, papar mbak Artha sambil
tersenyum getir.
Aku perbaiki posisi dudukku, aku pikir ini pengalaman yang menarik. Rasa
penasaran dan sedikit nggak percaya karena Mbak Artha yang aku kenal
sekarang adalah tipikal wanita sholehah, berhijab rapi, tutur kata lembut,
tilawahnya bagus dan smangatnya luar biasa. Benar-benar jauh dari profil
yang di ceritakan tadi. Ternyata benar kata pepatah, bahwa pengalaman
adalah guru yang paling berharga. Mungkin bertolak dari minimnya
pengetahuan agama, akhirnya mbak Artha berusaha keras untuk meng-up grade
diri. Dan subahanalloh hasilnya sungguh menakjubkan. Mbak Artha mekar
laksana bunga yang sedang tumbuh di musim semi, tapi siapa sangka ternyata
indahnya bunga itu tak lain karena kotoran-kotoran hewan yang menjadi
pupuk disepanjang kehidupannya.
Rupanya harapan mbak Artha untuk bisa menimba ilmu agama bersama-sama sang
suami tinggal impian. Mas Bimo yang diharapkan bisa menjadi katalisator
dan penyemangat ternyata hanya jalan ditempat. Hapalan Juz Amma nya belum
bertambah, tilawah Al Qur’an-nya masih belum ada perbaikan masih belum
lancar. Sementara kesibukannya sebagai Brand Manager di salah satu
perusahaan Telco milik asing, makin menyita waktu dan perhatiannya. Masih
syukur bisa mengahabiskan weekend bersama Mbak Artha dan Raihan anak
semata wayang mereka, kadang weekend pun mas Bimo harus ke kantor atau
meeting dan lain-lain. Tidak ada waktu untuk menghadiri majelis taklim,
tadarus bersama bahkan sholat berjama’ah pun nyaris tidak pernah mereka
lakukan.
Aku jadi teringat khutbah pernikahanku dengan Mas Adi, waktu itu sang
ustad berkata “Rumah tangga yang didalamnnya ditegakkan sholat berjam’ah
antara anggota keluarga serta sering dikumandangkan ayat-ayat Allloh akan
didapati kedamaian dan ketenangan didalamnya”
“Dhek….”, suara mbak Artha membuyarkan lamunanku. “Iya mbak, saya masih
denger kok. Saya hanya berpikir ini semua bisa menjadi ladang amal buat
mbak Artha”, jawabku sigap supaya nggak terlihat kalau emang lagi
ngelamun.
“Pada awalnya aku juga berpikir seperti itu dhek. Aku berharap Mas Bimo
juga memiliki keinginan yang sama dengan ku untuk memperdalam pengetahuan
kami terhadap Islam. Aku cukup gembira ketika mas Bimo menyambut ajakanku
untuk sama-sama belajar. Namun dalam perjalanannya, smangat yang kami
miliki berbeda. Mas Bimo seolah jalan ditempat. Sempat miris hati ini
ketika suatu saat aku meminta beliau menjadi imam dalam sholat magrib.
Bacaan suratnya masih yang itu-itu juga dan masih terbata-bata. Aku baru
tau bahwa dia belum pernah khatam Qur’an. Harusnya kan suami itu imam
dalam keluarga ya dhek?”, mata mbak Artha mulai berkaca-kaca.
“Apa harapanku terlalu tinggi terhadap suamiku? Bukankah harusnya suami
itu adalah Qowwam, pemimpin bagi istrinya. Lalu bagaimana jika sang
pemimpin saja belum memiliki bekal yang cukup untuk menjadi seorang
pemimpin?”, suara mbak Artha mulai bergetar.
“Terkadang aku ingin sekali tadarus bersama suami, tapi itu semua nggak
mungkin terjadi selama suamiku tidak mau belajar lagi membaca Al-qur’an.
Aku juga merindukan sholat berjama’ah dimana suami menjadi imannya
sementara kami istri dan anak menjadi makmumnya. Apa keinginanku ini
berlebihan dhek?”, tampak bulir bening mulai mengalir dipipi mbak Artha.
“Berbagai cara sudah ku coba, supaya Mas Bimo bersemangat memperbaiki diri
terutama dalam hal ibadah. Tentunya dengan sangat hati-hati supaya tidak
menyinggung perasaannya dan supaya tidak berkesan menggurui. Aku mulai
rajin mengikuti kajian-kajian keislaman, mencoba sekuat tenaga untuk
sholat 5 waktu tepat pada waktunya dan tilawah qur’an setelah sholat
subuh. Bahkan berusaha bangun malam menunaikan tahajud serta menjalankan
sholat dhuha dipagi hari. Semuanya itu kulakukan, dengan harapan mas Bimo
pun akan menirunya. Aku berharap sekali dia terpacu dan semangat, melihat
istrinya bersemangat” , papar mbak Artha dengan suara yang agak tinggi.
“Tapi sampai detik ini semuanya belum membuahkan hasil. Aku seperti orang
yang berjalan sendiriian. Tertatih, jatuh bangun berusaha menggapai cinta
Alloh. Aku butuh orang yang bisa membimbingku menuju surga. Dan harusnya
orang itu adalah Mas Bimo, suami ku”
Kurangkul pundaknya, sambil berbisik “sabar ya mbak, mudah-mudahan semuai
harapanmu akan segera terwujud”. Mbak Artha tampak agak tenang dan mulai
melanjutkan ceritanya.
“Dari segi materi materi apa yang Mas Bimo berikan sudah lebih dari
cukup, overall Mas Bimo suami yang baik dan bertanggung jawab. Bahtera
rumah tangga kami belum pernah diterpa badai besar, semuanya berjalan
lancar. Sampai disuatu saat mbak mulai menyadari sepertinya bahtera kami
telah kehilangan arah dan tujuan. Kami hanya mengikuti arus kehidupan yang
smakin lama smakin membawa kami kearah yang tidak jelas. Kami sibuk dengan
aktifitas kami masing-masing. Kehangatan, kemesraan, ungkapan sayang yang
dulu paling aku kagumi dari Mas Bimo sedikit demi sedikit terkikis di
telan waktu dan kesibukannya. Dan yang lebih parahnya lagi, unsur religi
sama sekali tak pernah di sentuh Mas Bimo sebagai kepala keluarga. Fungsi
Qowam sebagai pemimpin dalam menggapai cinta hakiki dari Sang Pemilik
Cinta, terabaikan. Mungkin karena memang bekalnya yang kurang. Sunguh,
harapan menggapai sakinah dan mawaddah serta rahmah semakin hari kian jauh
dari pandangan. Rumah tangga kami bagai tanpa ruh dan kering”, suara mbak
Artha mulai bergetar kembali.
Aku jadi speachless nggak tau musti berkata apa lagi. Ternyata ketenangan rumah tangga mbak
Artha, menyimpan suatu bara yang setiap saat bisa membakar hangus
semuanya. Hanya karena satu hal, yaitu alpanya sentuhan spritual dalam
berumahtangga. Atau mungkin juga adanya ketidaksamaan visi atau tujuan
saat awal menikah dulu. Bukankan tujuan kita menikah adalah ibadah untuk
menyempurnakan setengah agama. Idealnya, setelah menikah keimanan, ibadah
kita makin meningkat. Karena ada suami yang akan menjadi murobbi atau
mentor bagi istri, atau kalaupun sebaliknya jika istri yang lebih berilmu
tidaklah masalah jika istri yang menjadi mentor bagi suami. Yang penting
tujuan menyempurnakan dien guna menggapai sakinah dan mawaddah melalui
cinta dan rahmah makin hari makin terwujud. Mungkin itulah sebabnya
mengapa kreteria agama lebih diutamakan daripada fisik, harta dan
keturunan.
Ternyata cinta saja tak cukup untuk bekal menikah, begitupun dengan harta.
Pernikahan merupakan hubungan secara emosional yang harus ditumbuhkan
dengan sangat hati-hati, penuh kepedulian dan saling mengisi.Bahkan puncak
kenikmatan sebuah pernikahan bukanlah dicapai melalui penyatuan fisik saja
melainkan melalui penyatuan emosional dan spiritual. Pernikahan adalah
sarana pembelajaran yang terus menerus. Baik untuk mempelajari karakter
pasangan ataupun untuk meng upgrade diri masing-masing.
“Dhek Lia….”, Mbak Artha membuyarkan lamunanku. “Makasih ya dhek dah mau
jadi kuping buat mbak”, mbak Artha menggenggam tanganku sambil tersenyum.
“Mbak yakin dhek Lia bisa dipercaya, do’akan supaya aku diberikan jalan
yang terbaik sama Alloh”.
Aku pun tersenyum, “Insyaalloh mbak, maksih juga dah mau sharing masalah
ini dengan saya. Banyak hikmah yang bisa saya dapat dari cerita mbak. Saya
masih harus banyak belajar soal kehidupan berumah tangga mbak.
Jazakillah”.
Tak terasa hampir 2 jam kami ngobrol di teras TPA. Kumandang adzan dhuhur,
mengakhiri obrolan kami. Sambil menuju tempat wudhu mesjid untuk sholat
dhuhur berja’maah kusempatkam mengirim sms ke mas Adi. “Mas aku kangen, kangen sholat bareng, kangen tadarus bareng cepet pulang
ya Mas. Uhibbukafillahi Ta’ala” ***

Berkah Basmalah


Dalam kitab “An-Nawadir”, karya Ahmad Syihabudin bin Salamah Al-Qalyubiy dikisahkan, ada seorang Yahudi yang mencintai seorang wanita sampai tergila-gila.

Akibatnya, ia merasa makan dan minum tak enak serta tidur tak nyeyak. Akhirnya, ia menemui Atha’ Al-Akbar untuk menanyakan jalan keluar atas kesulitan yang dihadapinya itu.

Atha’ lantas menuliskan kalimat basmalah (Bismillahir-rahmanir-rahim) di sehelai kertas, lalu berkata kepadanya. “Bacalah ini, mudah-mudahan Allah SWT melalaikanmu dari mengingat wanita itu serta mengaruniakan wanita itu kepadamu.”


Setelah tulisan itu dibacanya, si Yahudi berkata, “Wahai Atha’, aku telah merasakan manisnya iman dan telah bersinar cahaya di dalam kalbuku hingga sekarang aku telah melupakan wanita itu. Ajarkanlah Islam kepadaku.”

Maka, Atha’ mengajarkan tentang Islam kepadanya. Sebab, keberkahan basmalah itu, ia pun masuk Islam.

Keislaman orang Yahudi itu terdengar oleh wanita yang dahulu disenanginya. Lantas wanita itu datang menemui Atha’ dan berkata. “Ya Imam Al-Muslimin, saya adalah wanita yang disebutkan oleh Yahudi yang masuk Islam itu. Semalam saya bermimpi didatangi oleh seseorang dan orang itu berkata kepada saya, ‘Jika anda ingin melihat tempat anda di dalam surga maka menghadaplah kepada Atha’, karena ia akan memperlihatkannya kepada anda.’ Nah, sekarang aku berada di hadapan Tuan, maka katakanlah kepadaku, di mana surga itu?”

Atha’ menjawab, “Jika anda menginginkan surga maka anda harus membuka pintunya terlebih dahulu, baru memasukinya.”

Wanita itu bertanya, “Bagaimana aku dapat membuka pintunya?”

Jawab Atha’, “Ucapkanlah Bismillahir- rahmanir-rahim.”

Setelah wanita itu membaca basmalah, ia lalu berkata, “Wahai Atha’, kurasakan ada seberkas cahaya bersinar dalam kalbuku dan kerajaan Allah dapat kulihat. Ajarkanlah Islam kepadaku.”

Atha’ mengajarkan Islam kepadanya. Berkat basmalah, wanita itu masuk Islam. Lalu, ia pulang kembali ke rumahnya. Pada malam harinya ketika tidur, ia bermimpi seakan-akan masuk ke surga, menyaksikan istana dan kubah di dalamnya. Di salah satu kubah itu ada tulisan; Bismillahir-rahmanir-ra hiim, La ilaha illallah, Muhammad Rasulullah.

Ketika wanita itu membaca tulisan tersebut, tiba-tiba terdengar suara berkata, “Wahai wanita, Allah telah memberikan semua apa yang kau baca.”

Dari kisah di atas, kita dapat mengambil kesimpuan bahwa basmalah merupakan salah satu dari inti kandungan ajaran Islam. Hal demikian juga diungkapkan sejumlah ulama akan keutamaan basmalah.

Dengan membaca basmalah berarti kita menyadari akan kekuatan dan pertolongan Allah dalam setiap aktivitas yang kita lakukan, juga menunjukkan akan kepasrahan dan ketidakberdayaan diri kita untuk melakukan suatu kebaikan apa pun, kecuali atas pertolong an-Nya.

Dan tidak dapat menolak sekecil apa pun kemudaratan yang akan menimpa kita, kecuali atas pertolongan-Nya. Dan inilah inti dari ajaran Islam.

Karena kandungan maknanya seperti inilah yang menjadikan kalimat basmalah mengandung keberkahan. Untuk itu, hayatilah maknanya dan bacalah setiap kali kita hendak melakukan pekerjaan, agar kita mendapatkan keberkahan. Wallahu a’lam.

Minggu, 23 September 2012

Merenungkan Matahari Terbenam


contemplate-sun_blog.jpg
Tiga orang yang sedang berjalan dengan sebuah kafilah kecil melihat seorang manusia sedang merenungi matahari terbenam di puncak gunung gurun sahara.
“Mungkin itu adalah seorang pengembala yang telah kehilangan domba dan sedang mencari dombanya,” kata orang pertama.
“Bukan, aku rasa dia tidak mencari sesuatu, apalagi ketika
matahari terbenam yang akan menyulitkanmu untuk melihat. Aku rasa dia sedang menunggu seorang teman.”
“Aku bertaruh dia adalah seorang manusia suci yang sedang mencari pencerahan,” komentar orang ketiga.
Mereka mendiskusikan apa yang sedang dilakukan manusia tersebut hingga diskusi menjadi hangat dan hampir saja membuat mereka bertengkar satu sama lain. Akhirnya, untuk mengetahui siapa yang benar, mereka memutuskan untuk memanjat gunungnya dan bertanya kepada orang tersebut.
“Apakah engkau sedang mencari domba?” tanya orang pertama.
“Tidak, aku tidak memiliki kawanan domba.”
“Kalau begitu engkau sedang menunggu seseorang,” seru orang kedua.
“Aku adalah seorang penyendiri yang hidup di padang pasir,” jawabnya.
“Sejak engkau hidup di padang pasir, dan hidup dalam kesunyian, maka kami percaya bahwa engkau adalah seorang suci yang sedang mencari Tuhan, dan engkau sedang bermeditasi!” tegas orang ketiga, yakin dengan kesimpulan ini.
“Apakah segala sesuatu yang ada di bumi membutuhkan sebuah penjelasan? Biar aku jelaskan: Aku di sini hanya menyaksikan matahari terbenam, bukankah itu sudah cukup untuk memberikan arti bagi kehidupan kita?”