Rabu, 31 Juli 2013

Tuhan tak Main Facebook

Di Facebook saya mencari Tuhan. Setelah memasukkan kata “Tuhan” di kolom pencarian, muncul sebuah akun. Tapi itu bukan milik-Nya (dengan N kapital), melainkan kepunyaan sebuah band dari Turki. Entah apa arti tuhan dalam bahasa Turki, karena di kamus online saya tak menemukannya.
Kalau pun ada Tuhan di Facebook, itu adalah akun dan  fanpage yang dibuat oleh para penggemar Tuhan. Hal yang sama terjadi di Twitter.

Saya gagal mencari Tuhan di dunia maya.
Mungkin Anda bertanya, kenapa saya iseng mencari Tuhan di jejaring sosial, meski semua orang waras tahu, pencarian itu akan gagal. Keisengan itu muncul karena saya tergelitik sejumlah status (FB, Yahoo! Messenger, BlackBerry Messenger,  dan tweet) dalam bentuk doa.
Kenapa orang berdoa di Facebook dan Twitter, jika Tuhan tak ada di media sosial?
Tergelitik, karena menurut guru agama saya dulu, permohonan kepada Tuhan harus disampaikan dalam hening. Doa adalah dialog pribadi antara kita dan Dia. Tapi, kini, kita melihat begitu banyak doa berseliweran di dunia maya dan bisa dibaca oleh jutaan orang. Mereka mungkin berharap, Tuhan akan membaca status atau tweet itu dan mengabulkannya.
Kenapa tidak?” kata seorang teman yang kerap berdoa di Facebook. “Tuhan Maha Mendengar, Dia pasti juga tahu apa yang kita sampaikan lewat media online.” Benar, tapi apa perlunya? Kenapa tidak disampaikan dengan khidmat dan khusuk? “Soal kekhusukan, itu tergantung niat,” kata teman lainnya. “Kalau kita menulis status atau tweet itu dengan khusuk, apa salahnya?”
Tentu tak salah, tapi jawaban itu tidak memuaskan. Hanya berkelit dan terkesan defensif. Tak puas dengan jawaban-jawaban (yang sepertinya kurang jujur itu), saya memutuskan untuk menganalisis doa-doa tersebut. Dan hasilnya, tidak terlalu mengejutkan.
Sebagian besar doa itu berisi pengumuman. Misalnya, “Terima kasih Tuhan, Kau telah melancarkan urusanku ini.” Meski berbentuk doa, sebenarnya mereka hanya ingin mengatakan kepada dunia bahwa dia telah berhasil melakukan suatu pekerjaan. Dengan membuat status berbentuk doa, mereka mungkin berharap pengumuan itu tidak terdengar pamer keberhasilan.
Model itu sama dengan model keluh kesah, seperti “Ya Allah, hari ini terasa berat, ringankanlah bebanku.” Dengan doa seperti ini mereka sebenarnya ingin berbagi dengan orang lain. Yang mereka harapkan adalah komentar dari teman-teman: “Sabar ya bu/pak…”
Yang agak aneh sebenarnya adalah menjadikan Tuhan sebagai “sasaran antara” untuk menyentil orang lain. Misalnya, “Tuhan, sadarkanlah dirinya.” Penulis status ini jelas ingin agar orang yang dituju membaca doa itu dan terusik. Biasanya, komentar dari teman-teman mereka akan berbunyi: “Siapa sih dia?” Dan penulis status akan menjawab: “Ada deh…”
Tentu saja, pemilik akun itu sah-sah saja menulis status apa pun. Akun-akun dia, apa hak kita melarangnya? Tapi, saya kok masih percaya, Tuhan lebih mendengar doa yang disampaikan secara lirih dan dalam kesepian. Bukan di media sosial yang berisik.

Dongeng Motivasi: Melihat Yang Tidak Ada

Dongeng motivasi ini menceritakan seorang anak yang kehilangan uang sebesar Rp 10.000. Dia begitu sedihnya dan menangis sejadi-jadinya.
Paman anak tersebut merasa kasihan, kemudian dia menghampiri anak itu.
“Kenapa kamu menangis?” tanya pamannya dengan penuh kasih sayang.

“Uang saya hilang. Rp 10.000.” katanya sambil terisak-isak.
“Tenang saja, nich paman ganti yah… paman kasih Rp 10.000 buat kamu. Jangan menangis yah!” kata pamannya sambil menyerahkan selembar uang Rp 10.000. Namun, sia anak tetap saja menangis. Kenapa?
“Kenapa kamu masih menangis saja? Kan sudah diganti?” tanya pamannya.
“Kalau tidak hilang… uang saya sekarang Rp 20.000.” kata anak itu dan terus menangis.
Pamannya bingung…
“Terserah kamu saja dech….”, katanya sambil pergi.
Ayahnya yang baru pulang kantor mendapati anaknya masih menangis.
“Kenapa sayang? Koq menangis sich. Lihat mata kamu, sudah bengkak begitu. Nangis dari tadi yah?” tanyanya sambi menyeka air mata anaknya.
“Uang saya hilang Rp 10.000.” kata anaknya mengadu.
“Ooohhh. Lho itu punya uang Rp 10.000? Katanya hilang?” tanya ayahnya yang heran karena dia melihat anaknya memegang uang Rp 10.000
“Ini dari paman…. uang saya hilang. Kalau tidak hilang saya punya Rp 20.000.” jawabnya sambil terus menangis.
“Sudahlah…. nih ayah ganti. Ayah ganti dengan uang yang lebih besar. Ayah kasih kamu Rp 20.000. Jangan menangis lagi yah!” kata ayahnya sambil menyerahkan selembar uang Rp 20.000.
Si anak menerima uang itu. Tetapi masih tetap saja menangis. Ayahnya heran, kemudian bertanya lagi.
“Kenapa masih menangis saja? Kan sudah diganti?”
“Kalau tidak hilang, uang saya Rp 50.000.”
Ayahnya hanya geleng-geleng kepala.
“Kalau gitu dikasih berapa pun, kamu akan nangis terus.” sambil mengendong anaknya.
***
Dongeng motivasi ini nyata? Tidak juga, ini hanya rekayasa. Dalam kenyataannya banyak orang yang memiliki sikap seperti anak tadi. Dia hanya melihat apa yang tidak ada, dia hanya melihat apa yang kurang, tanpa melihat sebenarnya dia sudah memiliki banyak hal. Sifat manusia yang selalu merasa kurang padahal nikmat Allah begitu banyaknya sudah dia terima.
Banyak orang mengeluh tidak bisa bisnis, sebab dia tidak punya uang untuk modal. Padahal modal hanyalah salah satu yang diperlukan dalam bisnis. Bisa jadi dia sudah punya waktu, punya tenaga, dan punya ilmu untuk bisnis. Namun dia tidak juga bertindak sebab dia hanya fokus melihat kekurangan, bukannya bertindak dengan memanfaatkan apa yang ada. Mulailah Bertindak Dari Yang Sudah Ada.
Bersyukurlah jika Anda merasa tersindir dengan dongeng motivasi diatas, artinya Anda perlu berubah sekarang.

Hidayah Allah Itu Datang Dari Seorang Anak Yang Bisu


Aku adalah seorang pemuda berusia 37 tahun, menikah dan memiliki beberapa anak. Aku mengerjakan segala hal yang Allah haramkan, adapun shalat aku tidak pernah menunaikannya, kecuali dalam beberapa kesempatan saja sebagai basa-basi dan toleransi untuk orang lain, penyebabnya adalah karena aku bersahabat dengan orang-orang jahat dan penipu, jadi setan selalu menemaniku di banyak waktu.

Aku mempunyai seorang anak laki-laki berusia tujuh tahun bernama Marwan, dia tuli dan bisu. Namun dia meminum air susu keimanan dari panyudara sang ibu yang beriman. Suatu malam aku dan anakku Marwan berada di rumah...

Aku sedang merancang acara yang akan aku lakukan bersama teman-teman. Saat itu, waktu sudah memasuki magrib, tiba-tiba Marwan berkata kepadaku dengan bahasa isyarat yang kami pahami, "Ayah, kenapa kamu tidak shalat ..?" kemudian dia mengangkat tangannya menunjuk ke langit dan mengancamku, "Allah melihatmu, Ayah ..!".

Anakku ini beberapa kali melihat aku berbuat kemungkaran. Aku heran dengan ucapannya barusan. Anakku mulai menangis di hadapanku. Aku menariknya ke sisiku, namun dia lari. Beberapa saat kemudian, dia pergi ke keran air dan berwudhu.

Kemudian anakku yang bisu ini masuk dan memberi isyarat kepadaku, "Tunggu sebentar ..!" rupanya dia shalat di depanku, kemudian setelah itu dia berdiri dan mengambil mushaf dan menaruhnya di hadapannya, lalu membukanya tanpa membolak-balik halaman dan menaruh jarinya pada firman Allah di surah Maryam,

"Wahai Bapakku, sesungguhnya aku khawatir bahwa kamu akan ditimpa azab dari Tuhan yang Maha Pemurah, maka kamu menjadi kawan bagi setan". (Maryam [19] : 45)

Kemudian dia menangis dan akupun menangis bersamanya dalam waktu yang lama. Lalu Marwan berdiri dan menghapus air mata dari kelopak mataku, kemudian mencium kepala dan tanganku, lalu dia berkata kepadaku dengan bahasa isyarat, "Shalatlah, Ayah, sebelum kamu dikubur di dalam tanah."

Saat itu aku terkejut dan takut sekali. Lalu aku segera menyalakan semua lampu rumah dan Marwan mengikuti dari satu kamar ke kamar yang lain. "Biarkan lampu-lampu itu, mari kita ke masjid besar", yang dia maksud adalah Masjid Nabawi.

"Kita ke masjid sebelah saja", usulku. Dia tidak mau kecuali ke Masjid suci Nabawi. Lalu aku membawanya ke sana dalam keadaan sangat takut sekali dan pandangannya tidak pernah lepas dariku sedetik pun.

Kami masuk ke Raudhah asy-Syarifah yang penuh dengan manusia. Iqamah shalat Isya dikumandangkan dan saat itu sang imam membaca firman Allah,

"Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Barangsiapa mengikuti langkah-langkah setan maka sesungguhnya dia (setan) menyuruh mengerjakan perbuatan yang keji dan mungkar.

Kalau bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepadamu, niscaya tidak seorang pun di antara kamu bersih (dari perbuatan keji dan mungkar itu) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui". (an-Nur [24] : 21)

Aku tidak mampu menguasai diriku dari tangis, dan Marwan yang ada disampingku juga menangis mendengar tangisku. Di tengah shalat, Marwan mengeluarkan tisu dari sakuku dan mengusap air mataku. Setelah selesai shalat, aku masih tetap menangis dan dia terus mengusap air mataku, aku duduk di masjid selama satu jam.

Kemudian kami kembali ke rumah. Malam itu adalah malam teragung bagiku, karena aku merasa terlahirkan kembali. Istri dan anak-anakku datang, mereka semua menangis, padahal mereka tidak tahu apa yang terjadi. "Ayah shalat di Masjid suci Nabi", Marwan menerangkan kepada mereka.

Istriku senang mendengar berita ini karena Marwan adalah hasil dari didikannya yang baik. Lalu aku bercerita kepadanya tentang kejadian yang terjadi antara aku dan Marwan.

"Demi Allah, aku hendak bertanya kepadamu, apakah kamu yang menyuruh dia membuka mushaf pada ayat itu. .?" tanyaku kepada istri. Lalu istriku bersumpah tiga kali bahwa dia tidak melakukan itu. Kemudian istriku berkata "Bersyukurlah kepada Allah atas hidayah ini".

Malam itu dalah malam yang paling indah. Sekarang Alhamdulillah aku tidak pernah ketinggalan shalat berjamaah di masjid. Aku meninggalkan semua kawanku yang jahat dan aku merasakan manisnya iman.

Sekarang aku hidup dalam kebahagiaan, cinta dan saling memahami bersama istri dan anak-anakku, khususnya Marwan yang tuli dan bisu. Aku sangat menyayanginya. Bagaimana tidak, ditangannya aku mendapat hidayah.

Wallahu’alam bishshawab,

Minggu, 28 Juli 2013

Kisah Bunga Mawar dan Pohon Bambu

Di sebuah taman, terdapat taman bunga mawar yang sedang berbunga. Mawar-mawar itu mengeluarkan aroma yang sangat harum. Dengan warna-warni yang cantik, banyak orang yang berhenti untuk memuji sang mawar.
Tidak sedikit pengunjung taman meluangkan waktu untuk berfoto di depan atau di samping taman mawar. Bunga mawar memang memiliki daya tarik yang menawan, semua orang suka mawar, itulah salah satu lambang cinta.
Sementara itu, di sisi lain taman, ada sekelompok pohon bambu yang tampak membosankan. Dari hari ke hari, bentuk pohon bambu yang begitu saja, tidak ada bunga yang mekar atau aroma wangi yang disukai banyak orang. Tidak ada orang yang memuji pohon bambu. Tidak ada orang yang mau berfoto di samping pohon bambu. Maka tak heran jika pohon bambu selalu cemburu saat melihat taman mawar dikerumuni banyak orang.
“Hai bunga mawar,” ujar sang bambu pada suatu hari. “Tahukah kau, aku selalu ingin sepertimu. Berbunga dengan indah, memiliki aroma yang harum, selalu dipuji cantik dan menjadi saksi cinta manusia yang indah,” lanjut sang bambu dengan nada sedih.
Mawar yang mendengar hal itu tersenyum, “Terima kasih atas pujian dan kejujuranmu, bambu,” ujarnya. “Tapi tahukah kau, aku sebenarnya iri denganmu,”
Sang bambu keheranan, dia tidak tahu apa yang membuat mawar iri dengannya. Tidak ada satupun bagian dari bambu yang lebih indah dari mawar. “Aneh sekali, mengapa kau iri denganku?”
“Tentu saja aku iri denganmu. Coba lihat, kau punya batang yang sangat kuat, saat badai datang, kau tetap bertahan, tidak goyah sedikitpun,” ujar sang mawar. “Sedangkan aku dan teman-temanku, kami sangat rapuh, kena angin sedikit saja, kelopak kami akan lepas, hidup kami sangat singkat,” tambah sang mawar dengan nada sedih.
Bambu baru sadar bahwa dia punya kekuatan. Kekuatan yang dia anggap biasa saja ternyata bisa mengagumkan di mata sang mawar. “Tapi mawar, kamu selalu dicari orang. Kamu selalu menjadi hiasan rumah yang cantik, atau menjadi hiasan rambut para gadis,”
Sang mawar kembali tersenyum, “Kamu benar bambu, aku sering dipakai sebagai hiasan dan dicari orang, tapi tahukah kamu, aku akan layu beberapa hari kemudian, tidak seperti kamu,”
Bambu kembali bingung, “Aku tidak mengerti,”
“Ah bambu..” ujar mawar sambil menggeleng, “Kamu tahu, manusia sering menggunakan dirimu sebagai alat untuk mengalirkan air. Kamu sangat berguna bagi tumbuhan yang lain. Dengan air yang mengalir pada tubuhmu, kamu menghidupkan banyak tanaman,” lanjut sang mawar. “Aku jadi heran, dengan manfaat sebesar itu, seharusnya kamu bahagia, bukan iri padaku,”
Bambu mengangguk, dia baru sadar bahwa selama ini, dia telah bermanfaat untuk tanaman lain. Walaupun pujian itu lebih sering ditujukan untuk mawar, sesungguhnya bambu juga memiliki manfaat yang tidak kalah dengan bunga cantik itu. Sejak percakapan dengan mawar, sang bambu tidak lagi merenungi nasibnya, dia senang mengetahui kekuatan dan manfaat yang bisa diberikan untuk makhluk lain.
Daripada menghabiskan tenaga dengan iri pada orang lain, lebih baik bersyukur atas kemampuan diri sendiri, apalagi jika berguna untuk orang lain.

Sayang, Kenapa Aku Jatuh Cinta Lagi Padamu?

Di bulan suci Ramadhan seorang suami yang baru pulang dari kantor membantu istri memasak untuk berbuka, istrinya melihat suami yang telah seharian bekerja namun juga kerepotan ikut membantu istri di dapur. “Mas, istirahat dulu aja.” Suami menjawab, “Rasulullah aja selalu membantu tugas istri beliau, Kalo saya membantu istri memasak belum sebanding dengan apa yang telah dilakukan Rasulullah.”
Mata mereka berpandangan. Suami tersenyum manis dan istri tersipu malu dibuatnya. Walaupun usia perkawinan mereka telah cukup lama, anak-anak sudah besar dan dewasa, jika senantiasa disirami dengan kasih sayang dan saling memahami maka akan selalu ada tunas cinta yang bersemi kembali. Bunga-bunga bermekaran menebarkan semerbak harum mewangi setelah melewati badai dan guncangan kehidupan.
Istri bersabar menghadapi kekurangan suami karena mengingat pengorbanan yang telah dilakukan suami dalam mengarungi bahtera kehidupan, demikian juga suami selalu bersabar dalam menghadapi kekurangan istri sebab istrinya nampak anggun nan cantik dengan keikhlasan dan pengorbanan dalam menjaga bahtera rumah tangga, sebagaimana Umar Bin Khattab yang menasehati seorang sahabat ketika mengadukan istrinya yang sangat cerewet sekali. ” Saudaraku, aku bersabar atas sikap seperti itu, karena hak-haknya padaku. Istri memasakkan makanan, menyucikan pakaian, menyusui anak-anak dan hatiku tenang dengannya dari perkara yang haram karena aku bersabar atas sikapnya seperti itu.”
Terkadang cinta dalam keluarga luntur oleh seiring perjalanan panjang, menjadi terasa hambar dan datar. Ketika pertentangan suami istri tidak menemukan titik temu karena ego masing-masing akan menggerus simpati dan rasa cinta. Berbagai kelemahan yang semakin terlihat dipelupuk mata tanpa upaya untuk saling memahami dan saling mengerti menjadikan rumah tangga kehilangan cinta dan kasih sayang. Bagaikan jasad tanpa ruh, setiap kata yang terucap menjadi kehilangan makna bahkan kata telah berubah menjadi senjata untuk saling menyakiti perasaan satu sama lainnya. Komunikasi semakin hambar terjebak dalam formalitas, berbincang tentang anak, keluarga besar, saudara, rekening listrik, namun tidak lagi membahas diri mereka sebagai pasangan suami istri.
Disinilah dibutuhkan kekuatan di dalam menghadapi permasalahan rumah tangga, kekuatan itu adalah ketaqwaan kita kepada Allah sehingga terciptanya keluarga sakinah mawaddah warahmah atau keluarga yang tenteram penuh cinta dan kasih sayang. Siramilah keluarga anda dengan cinta dan kasih sayang, bangunlah kembali komunikasi penuh kehangatan agar bunga-bunga bermekaran, menebarkan semerbak harum mewangi kehidupan. Gunakan cara terindah yang anda miliki untuk membangun kemesraan dengan pasangan anda. Ungkapkan dengan tulus cinta dan kasih sayang anda untuk saling mengerti dan saling menguatkan, sampai kemudian pasangan anda membisikkan kata “Sayang, kenapa aku jatuh cinta lagi padamu?”

“Seorang Mukmin yang pale sempurna imannya adalah yang pale baik akhlaknya serta lemah lembut terhadap istrinya.” (HR. Ahmad Tirmidzi).

Kamis, 25 Juli 2013

Sebuah nama

Kamu adalah sebuah nama. Aku pikir tidak etis menulis namamu disini. Karena aku hanya sesekali memanggil namamu. Dan kamu, tak sekalipun memanggilku dengan menyebut namaku.
Kamu ada di mana-mana, di hari-hariku.
Seperti sebuah rasa. Rasa yang membuat malam-malamku terjaga begitu hangat. Seluruh ruang-ruang di hidupku penuh terisi ingatan tentangmu. Hingga seperti tunas sulur yang membaca arah matahari, demikian aku membaca perasaan di dadaku dengan hati-hati. Aku pikir, aku hampir tersesat dalam rasa dan memaksaku bertanya diam-diam. Dalam hati , apakah aku harus membiarkan diriku jatuh cinta? Begitu cepatnya. Begitu sederhananya. Hingga aku serasa bermimpi dan terbangun di surga.
Aku mengernalmu dalam suara. Kata yang hiruk piruk dalam sebuah gelisah. Hingga membuat mataku diam dalam sia juga. Meski berulang kali aku menyapa rupa. Kamu tetaplah sebuah bayang yang maya. Kamu membuatku menghadap Tuhan. Menyebrangi angin, lalu mempertanyakan harapan. Hingga ketika aku terjaga dalam pagi , aku menemukanmu di antara sebuah senyuman. Tetapi kamu tetaplah abstrak dalam sebuah perasaan.
Kamu adalah sebuah nama. Katamu, kamu belum pernah jatuh cinta. Aku ingat ,kamu berbicara sedikit tentang itu.
Aku belum pernah jatuh cinta. Belum ada seorangpun yang membuatku jatuh cinta. Seingatku ,aku nggak melakukan sesuatu apapun untuk membuatku nggak jatuh cinta. Aku pikir cinta hanya belum memilih untuk hinggap di hatiku.
Di malam yang lain kamu bilang, “ Aku nggak tahu bagaimana rasanya jatuh cinta.”
Aku mendengarmu berbicara tentang apa saja, kecuali tentang patah hati. Aku mulai bisa memakluminya. Itu karena kamu belum pernah jatuh cinta, bukan ?
“ Aku hanya tau aku baik-baik saja tanpa jatuh cinta”, katamu kemudian.
Mengangguk aku dalam gaung yang renta. Kamu tak melihatku. Aku pun tak bisa menyentuhmu. Tapi seperti sebuah pikiran yang mengembara sendirian , kamu dan aku bertasbhi di titik yang serupa.
Cintamu masih seperti hari yang hilang. Menelisik waktu untuk menjemputnya pulang. Aku tau, kamu memiliki cinta. Sebagaimana sebuah rasa yang menunggu dalam doa yang nyaris sia. Tapi, jika saatnya tiba, aku tau kamu akan menyerahkan totalitas untuk sebuah cinta yang aku sendiri bahkan tak akan mengerti kenapa kamu menyerahkannya. Ku rasa sebagai tanda kesejatiaanmukah? Supaya kamu lebur didalamnya
Dan cintamu seperti hari yang hilang. Bila berbicara tentang cinta kamu seperti sedang berkembara sendiri. Berjuang di bawah kegelapan malam dan mengubah puisi dari prosa kehidupan.
Katamu, semua tentangku adalah aneh. Aku datang dengan semua yang serba menyebalkan. Aku pribadi yang sangat kompleks. Aku sebuah paket lengkap. Aku datang dengan semua perasaan dan emosiku. Hingga membuatmu selalu berpikir apakah kelahiranku sebuah masalah? Tapi aku membiarkanmu bersebrangan denganku. Tanpa penjelasan.
Aku pikir aku adalah aku dengan cinta yang aku. Dengan rasa yang aku. Bukankah kamu mencintaiku karena aku adalah rasa yang cinta?
Aku bertanya dimana-mana, diingatan-ingatanku. Seperti sebuah lelakon- lelakon yang merangsek saling membakar. Sesuatu yang menjalar , yang membuat sendi-sendiku ngilu begitu liar. Seluruh ruang-ruang di tubuhku penuh terisi luka tentangmu. Hingga seperti hujan deras yang membekukan demikian aku menulis perasaan di dadaku dengan sesengguyukan. Aku piir aku tersesat dalam rasa dan memaksaku bertanya dalam diam. Apakah kamu datang hanya untuk mematahkan hatiku? Begitu cepatnya. Begitu sederhananya. Hingga aku serasa berteriak di gurun.
Kamu, seperti sebuah nama adalah cerita cinta yang luka. Seperti arkha yang berlari-lari menujuku. Dan mengais di dadaku. Kemudian aku mengais-ngais ingatan atasmu yang bererakan pada malam yang tidak bias tidur. Arghh… aku tau kamu adalah laki-laki yang tak mengenal kata pulang. Dan tak mampu mengeja kata rindu. Kamu adalah laki-laki yang tak lagi sama seperti yang aku cinta.
Lihatlah dalam diam yang renta aku akhirnya mengais seperti arkha yang berlari-lari menujuku dan mengais-ngais di dadaku.
Kamu adalah sebuah nama. Kamu ada di mana-mana. Di setiap ingatanku. Tapi seperti simpang lima saat senja. Bagiku kamu cerita cinta yang tak lagi bercerita.

Ketika Cinta Lama Bersemi Kembali

Selesai membereskan pekerjaan rumah yang menjadi rutinitas paginya, Miranda bergegas membersihkan diri. Dipakainya baju baru, riasan wajah tipis tipis lalu segera dilambainya taksi yang kebetulan tengah melintas.
Ini kali pertama Miranda keluar rumah untuk bertemu Harlan,
lelaki yang pernah dicintainya dulu. Jantungnya berdegup lebih kencang, nafasnya memburu, keringatnya berbintik di keningnya. Jujur, ia tegang luar biasa. Sama seperti belasan tahun yang lalu saat ia jatuh cinta pertama kali pada lelaki itu.
“Datanglah ke foodcourt di sudut kampus. Kita makan siang bareng ya…” bunyi sms Harlan yang masuk di ponselnya membuatnya berdebar debar.
Miranda masih tetap cantik meskipun usianya sudah melewati 30an tahun. Rambutnya masih hitam lebat terawat meskipun beberapa helai uban menyembul di sana sini. Pipinya masih terlihat kencang, kerutan halus mulai terlihat di sudut mata dan bibirnya. Menatap matanya bagai melihat ke kedalaman telaga yang berkilau jernih. Semua itu tak mengurangi kecantikannya yang klasik.
**********
Tiga tahun yang lalu Priyo meninggal dalam kecelakaan tragis. Saat itu mereka baru saja merayakan ulang tahun perkawinan yang ke lima. Sebuah pesta kecil kecilan telah disiapkan Priyo, sebagai hadiah kejutan untuk Miranda. Rumah mungil lengkap dengan isinya menjadi bagian dari kebahagiaan mereka malam itu.
Sepulang dari makan malam romantis lalu dilanjut dengan nonton film berdua hingga larut malam membuat Priyo sedikit mengantuk. Ia memacu mobilnya dalam kecepatan tinggi, menabrak pembatas jalan dan terbalik.
Tulang pahanya patah, tiang kemudi melesak ke dadanya hingga jiwanya tak tertolong lagi sesampainya di rumah sakit. Miranda sendiri terluka di dahinya, tangan kirinya retak dan darah mengalir dari sela kedua kakinya akibat benturan hebat itu.
Priyo meninggal dunia tanpa sempat mendengar kabar membahagiakan ini. Lima tahun bukanlah waktu yang pendek untuk menantikan kehadiran seorang anak. Saat karunia itu hadir di tengah mereka, Tuhan memanggil Priyo. Padahal Miranda berencana memberitahukan berita bahagia ini sepulang mereka ke rumah.
“Maas….kenapa begitu cepat kau pergi? Kau bahkan belum tahu kalau aku sedang berbadan dua…” ratapnya pilu.
“Tapi aku juga membencimu. Gara gara kamu, aku kehilangan bayiku….” rutuknya lagi.
**********
Harlan melambaikan tangannya saat dilihatnya Miranda tengah mencari cari. Ia masih mengenali perempuan itu, terlebih wajahnya tak berubah sama sekali.
“Mau makan apa Mir? Eh, bagaimana aku harus memanggilmu….?” tawa Harlan terdengar riang.
Miranda tersenyum. Ragu ragu dia duduk di seberang meja Harlan. Nuraninya berkata kalau tindakannya itu salah. Sisi hatinya yang lain mengatakan itu benar. Aah, entahlah, Miranda sedang tak ingin mendengarkan debat dalam pikirannya. Ia ingin menikmati makan siangnya kali ini bersama orang lain.
Sudah terlalu lama ia hanya berkutat dengan dunianya sendiri. Dapur, sumur dan tetangga kiri kanan. Tak pernah sekalipun ia mau bertandang ke teman temannya dulu, atau ke keluarga yang agak jauh. Ia benar benar menutup diri dari kehidupan sosialnya.
Semua terjadi setelah kecelakaan hebat yang merenggut Priyo dari sisinya. Ia menyalahkan Tuhan. Ia menyalahkan mobilnya yang tak beres remnya. Ia menyalahkan malam itu, menyesali kenapa ia mau diajak keluar untuk makan malam dan menonton film.
“Apa kabar mas Harlan? Lama sekali kita tak bertemu….”
“Aduuhh…Mir…Mir…. Kaku sekali kau, formiill….” Harlan menyela kata Miranda sambil tergelak.
“Bukankah kita ini teman? Kok seperti ngomong sama siapa aja…” sambungnya. Gelak tawanya masih terdengar.
Miranda tersipu sipu. Pipinya merona, menambah cantik parasnya. Jantung Harlan dag dig dug makin kencang.
**********
Dulu semasa mereka kuliah bersama, Harlan naksir berat sama Miranda. Gadis manis yang pemalu itu sangat menarik hatinya. Setiap kali ada tugas kelompok, Harlan selalu berusaha agar bisa satu grup dengan Miranda. Ia sudah cukup puas bisa mengerjakan tugas bersama sama, mendengarkan suaranya yang halus, atau memandangi gadis itu saat sedang sibuk mengetik.
Ia menyimpan perasaan cintanya rapat rapat. Latar belakang keluarganya yang sederhana membuatnya berpikir seribu kali untuk mendekati gadis itu. Miranda berasal dari keluarga berada. Ayahnya seorang dosen ternama dan ibunya pengusaha sukses. Sebagai anak tunggal, Miranda dilimpahi kemewahan yang membuat iri teman teman se kampusnya.
“Sampai kapan? Haa…? Sampai berkarat dan berkalang tanah?” Dudi tertawa mengejek. Harlan hanya bisa terdiam. Mukanya merah padam menahan marah, juga malu luar biasa. Ia tak menyadari bila sahabatnya ini bisa membaca isi hatinya.
Hingga mereka lulus kuliah, Miranda diterima bekerja di Jakarta dan Harlan masih setia mencari sesuap nasi di Jogja. Yaah, ia tak bisa meninggalkan bisnis rental komputer yang sudah dirintisnya sejak awal masuk kuliah dulu, dan mencari pekerjaan lain di Jakarta. Ia anak sulung, ia masih harus menanggung biaya sekolah kedua adiknya yang masih SMA.
Harlan mengubur perasaan cintanya dalam dalam ketika mendengar kabar pernikahan Miranda. Gadis itu menerima pinangan Priyo, anak kolega papanya. Ia pernah berharap Harlan menyatakan cinta padanya. Sebagai seorang gadis yang dididik dengan adat Jawa yang halus, ia hanya bisa menunggu. Penantiannya ternyata sia sia.
Meskipun hatinya hancur lebur, tetapi Harlan tetap berdoa untuk kebahagiaan Miranda, gadis yang diam diam dicintainya.
********
“Hallo pengusaha sukses…..” seseorang menepuk bahunya. Harlan terkejut bukan main. Dudi berdiri tegak di hadapannya sambil tersenyum lebar.
“Dudiii…..” soraknya.
Mereka berpelukan erat, sambil tertawa tawa gembira. Pameran komputer yang diselenggarakan di mall mewah itu tidak sengaja telah mempertemukan mereka kembali.
“Ada kabar gembira. Ingin dengar tidak?” goda Dudi.
“Aaahh kau ini. Apa yang bisa membuatku gembira? Nggak ada….” Sahut Harlan lesu. Ingatannya kembali melayang pada Miranda, gadis yang diam diam dicintainya.
“Miranda sudah menjanda. Priyo meninggal karena kecelakaan beberapa tahun lalu……”.
Dudi tersenyum penuh arti. Ia tahu benar kalau Harlan masih menyimpan cintanya pada Miranda.
Jadilah, siang itu mereka lewatkan dengan mengenang kembali masa kuliah mereka yang menyenangkan. Diam diam Harlan membuka kembali pintu hatinya, harapan yang lama sekali terkubur kini mulai merekah kembali.
Dipeluknya bahu sahabatnya penuh rasa terima kasih.
*******
“Yakin mas? Kau …..kau….tidak bercanda kan?” Miranda kaget. Pernyataan Harlan terdengar bagaikan petir di siang bolong. Wajahnya memucat, kenangan demi kenangan tentang Priyo dan kehilangan bayinya kembali menyeruak.
“Kita sudah sama sama dewasa Miranda. Aku belum menikah, karena cintaku kepadamu telah kupupus sebelum sempat mekar berkembang…..”.
“Beri aku waktu mas…..aku….aku…” Miranda menutup wajahnya dengan telapak tangan, ia mulai terisak.
Harlan memeluk pundak perempuan itu, membiarkannya meluapkan tangisnya agar perasaannya menjadi lega. Hujan yang tiba tiba turun menambah sendu suasana sore itu. Hanya isak tertahan Miranda yang sesekali terdengar memecah kesunyian.
~~~~
“Mas, bacalah ini….” Miranda mengangsurkan kertas hasil labnya.
Harlan membaca baris demi baris dengan teliti, rona wajahnya berubah ubah dari merah padam ke pucat pasi. Beberapa kali ia mengusap wajahnya yang berkeringat. Miranda duduk menanti dengan tegang. Diperhatikannya gerak gerik Harlan, seakan ingin membaca apa yang tersirat di wajahnya.
“Mira……aku mencintaimu sejak kita kuliah dulu. Sampai hari ini, cintaku tak berkurang sedikitpun meskipun kau lebih memilih pria lain….”.
“Tapi…….”.
Harlan memeluk perempuan itu erat erat, seakan tak ingin dilepaskannya lagi. Itu sudah cukup buat Miranda, ia tak perlu lagi meragukan niat baik Harlan.
~~~~~~
“Bagaimana saksi? Sah? Sah?”.
“Sah”.
“Sah”.
Geremeng ucap syukur memenuhi ruang tengah yang semarak oleh untaian bunga melati yang indah. Harlan memanjakan Miranda dengan menghias seluruh penjuru rumahnya dengan rangkaian melati dan bunga ceplok piring.
Dudi tersenyum lebar menyambut pasangan pengantin baru ini. Ia sangat bersyukur, akhirnya sahabatnya ini menemukan cinta sejatinya.
Bulan separo menerangi beranda yang gelap tanpa lampu. Sambil memeluk Miranda, Harlan mengeluarkan dua lembar hasil lab yang berbeda. Satu milik Miranda dan satunya lagi kepunyaan Harlan. Baru malam itu Miranda mengerti kenapa Harlan tetap nekat melamarnya.
Dokter telah memvonis Harlan tak bisa mempunyai keturunan, sementara Miranda pun tak bisa hamil lagi. Dokter telah mengangkat rahimnya saat kecelakaan itu, untuk menyelamatkan nyawanya.
Tak putus putusnya Miranda mengucap syukur atas karunia itu.

Selasa, 23 Juli 2013

Serayu, Sepanjang Angin Akan Berembus…

”Sabarlah, tunggu sampai senja selesai. Dan kau boleh tak mencintaiku lagi setelah ini.”
Serayu, seindah apakah senja yang kau bilang mengendap perlahan-lahan di permukaan sungai sehingga tampak air yang hijau itu berangsur-angsur tercampuri warna merah kekuningan dan memantulkan cahaya matahari bundar lalu koyak karena aliran yang menabrak batuan besar dasar sungai?
O Serayu, sesedih apakah perasaan seorang wanita yang melihat senja itu dari balik jendela kereta ketika melintas di jembatan panjang sebelum stasiun Kebasen?
Sepanjang angin akan berembus, selalu ada cerita tentang wanita kesepian, senja yang menunggunya dalam waktu yang serba sebentar, lalu keheningan pun terjadi meski sesungguhnya gemuruh kereta ketika melintasi jembatan itu bisa terdengar hingga ke batas langit, atau ke dasar sungai.
”Aku melihat senja, lalu memikirkanmu.” Ucap seorang wanita pada kekasihnya. Di sore yang cerah, di tepi jembatan kereta. Keduanya duduk menjuntaikan kaki ke bawah, menikmati embusan angin dan melihat kendaraan berlalu-lalang di jalan berkelok ke arah kota Purwokerto.
Di Serayu, panggung seperti disiapkan. Lelaki itu masih menunggu senja yang dimaksud si wanita. Seakan ia tak pernah melihat bagaimana bentuk senja semenjak ia lahir, meski tentu senja pernah melihat lelaki itu, entah di mana.
”Kamu tahu kenapa aku memikirkanmu setiap kali melihat senja?” tanya wanita itu.
Si lelaki tak menjawab, toh sebentar lagi pasti wanita itu menjawab pertanyaannya sendiri.
”Karena senja seperti dirimu, pendiam, tapi menyenangkan.”
Nah.
Serayu, serupa apakah kenangan dalam bungkusan senja yang konon lebih luas dari aliran sungai Gunung Slamet menuju pantai selatan itu?
”Aku tetap suka berada di sini meski kau diam saja.”
Begitukah?
Lelaki itu memang masih diam.
”Kalau tidak ada kamu, pasti senja membuatku merasa ditimbun kenangan.”
Sepanjang angin berembus, wanita itu terus berbicara. Tapi hari masih terang, burung-burung terbang rendah di atas mereka, tak beraturan. Belum waktunya pulang, beberapa burung kecil duduk di besi jembatan, kemudian terbang lagi. Senja belum datang, dan kereta juga belum datang.
”Benarkah ada kereta yang selalu datang ketika senja?” tanya lelaki itu. Mungkin ia gusar dengan keheningannya sendiri.
”Tentu saja.”
”Kereta apa? Kereta senja?”
”Ah, bukan. Jangan terlalu klise, Sayang.”
”Lalu?”
”Hanya kereta, dengan gerbong-gerbong penumpang seperti biasa. Itu saja.”
”Pasti ada namanya. Bahkan kereta barang yang mengangkut minyak pun ada namanya.”
”Ketel maksudnya?”
”Ya.”
”Kalau begitu, anggap saja ini kereta kenangan.”
Kenangan lagi. Seperti diksi yang luar biasa picisan, namun kadang sepasang kekasih bisa mengorbankan apa saja untuk sesuatu yang picisan, bahkan pembicaraan selanjutnya seperti tak akan menyelamatkan mereka. Kecuali waktu yang terus susut, jam terpojok ke angka lima. Tapi senja belum turun, belum ada kereta yang melintas di belakang mereka. Alangkah dekatnya mereka dengan rel kereta. Sehingga bisa terbayang jika kereta melintas pasti tubuh keduanya ikut bergetar karena roda besi yang bersinggungan dengan rel baja itu.
”Mungkin kita harus pindah tempat, sedikit menjauh.” Ucap lelaki itu
”Tidak. Dari sini kita bisa melihat senja.”
”Tapi ini terlalu dekat.”
”Tapi kalau kau pindah, nanti aku susah memikirkanmu dalam bentuk yang seperti ini.”
Tentu saja.
***
Serayu. Sungai besar yang teramat sabar, aliran air memanjang sampai ke penjuru ingatan, ke palung kehilangan, ke laut kasmaran. Sesungguhnya, ada banyak cerita di Serayu. Bukan hanya sepasang kekasih yang duduk di besi jembatan untuk menunggu senja, tapi juga kisah-kisah lain manusia, seorang lelaki yang mendayung perahu ke tengah demi mencari ikan, atau awah-sawah di kejauhan yang tampak menghampar dan hanya terlihat topi-topi petani. Semua itu adalah cerita. Tapi pemandangan Serayu, senja, dan sepasang kekasih mungkin akan menjadi cerita yang paling dramatis. Bisa saja sepasang kekasih itu pada akhirnya akan berpisah, tapi masing-masing dari mereka tak bisa menghilangkan kenangan ketika duduk berdua di jembatan Serayu untuk melihat sesuatu yang setengah tak masuk akal. Seakan-akan mereka sedang mengabadikan cinta dalam hitungan detik terbenamnya matahari. Lalu pada suatu waktu si lelaki akan sengaja kembali ke tempat itu, duduk di sana, demi mengenang wanita itu. Meski mungkin si wanita tak kembali, sebab ia merasa tersakiti jika harus melihat senja di sungai itu lagi.
Tetapi, kereta akan tetap melintas, tepat ketika senja, ketika matahari bundar di ujung sungai yang luasnya sekitar 300 meter.
Ya, sebentar lagi, sebuah kereta penumpang akan melintasi sungai itu. Serayu. Sungguh nama yang romantis, seorang masinis yang bertugas di kereta itu sedang membayangkan kereta yang dikemudikannya sebentar lagi melintasi jembatan, lalu ia akan membunyikan peluit lokomotif keras-keras, nguooongngng, hingga ia pun teringat dengan kekasihnya di masa lau; seorang wanita penggemar kereta dan senja.
”Aku ingin kelak kau menjadi masinis, dan membawa kereta yang melintasi Sungai Serayu tepat ketika senja.”
”Kau ingin aku jadi masinis?”
”Ya.”
”Artinya aku akan selalu pergi.”
”Aku masih bisa memikirkanmu.”
”Jadi, cinta sudah cukup sempurna jika kita masih bebas memikirkan orang lain?”
Sepanjang angin akan berembus, pertanyaan seperti itu seolah tak ada gunanya.
Kereta terus melaju, sudah jauh meninggalkan stasiun Notog, memasuki terowongan, lalu menebas hutan yang penuh dengan pepohonan pinus. Baru saja kereta melintasi jalan raya, yang artinya semakin dekat dengan Serayu. Masinis itu tak mengurangi kecepatan, sesaat ia menoleh lewat jendela, melihat ke gerbong-gerbong di belakangnya. Bukan gerbong senja, tentu saja, bukan pula kereta kenangan seperti yang dinamai kekasihnya di masa lalu. Ini hanya kereta biasa.
Jembatan sudah terlihat di kejauhan. Masinis itu perlahan menarik rem, sedikit mengurangi kecepatan di tikungan terakhir sebelum melintasi sungai Serayu. Dan beberapa saat kemudian, tampaklah hamparan hijau itu, juga perasaan yang tak ada maknanya lagi.
”Sepanjang angin berembus, akankah kau merindukanku?”
Ah, rindu memang seperti paksaan. Ketika kereta semakin dekat ke jembatan Serayu, si masinis melihat sepasang kerkasih yang sedang duduk di salah satu sudut jembatan itu, mereka melambai ke arah kereta, seakan tak pedulidengan kebisingan mesin lokomotif dan suara roda yang bergesekan dengan rel serta besi jembatan. Masinis itu membalas lambaian mereka. Sementara di bagian bagian kanan, warna merah pada langit dengan lapisan awan tipis membentuk garis-garis menggumpal yang artistik dengan warna merah saling tindih.
Masinis itu tertegun, seperti itukah senja yang dahulu pernah didambakan kekasihnya?
Namun belum selesai kekagumannya, tiba-tiba kejadian aneh terjadi, mesin lokomotif kereta itu mendadak mati, tenaga menurun drastis, kereta pun berangsur-angsur mengurangi kecepatan dan akhirnya berhenti tepat di tengah jembatan, tampak dari barisan jendela, para penumpang di dalam gerbong terkejut, penasaran ada apa, mengapa berhenti di tengah jembatan. Apakah kereta tertahan sinyal masuk sebuah stasiun? Atau ada kejadian luar biasa di depan? Tapi kadang kita tak butuh jawaban untuk sebuah kenangan yang magis, bukan? Kereta itu, barangkali pernah memiliki kekasih pula, yaitu kereta lain yang selalu mengingatkannya tentang senja di mana pun ia melaju, agar berhenti sebentar untuk mengingat ucapan kekasihnya:
”Sabarlah, tunggu sampai senja selesai. Dan kau boleh tak mencintaiku lagi setelah ini.”

Sabtu, 20 Juli 2013

Sebungkus Plastik Uang Recehan

SEPERTI biasa setiap satu bulan sekali Sawitri datang ke tempat praktik saya. Sawitri rajin memeriksakan kandungannya. Sore itu, seperti biasa pula dia memakai baju kembang-kembang cokelat, agak kusam dan lusuh. Dia tak pernah kelihatan berdandan, hanya apa adanya. Saya tidak mempedulikan hal itu, apalagi berminat menanyakannya, apakah baju itu kesukaannya atau memang tidak ada pakaian lagi untuk dipakainya.
Istri Sukarman itu sedang mengandung anak kedua. Usia kehamilannya cukup bulan. Anak pertamanya lahir premature dan persalinannya dibantu oleh dukun bayi. Seharusnya bayi itu segera dirawat di rumah sakit. Tapi, karena tidak punya biaya, maka Sawitri dan suaminya hanya pasrah. Akhirnya, bayi itu meninggal dunia.

Saya berminat sekali menolong keluarga miskin ini.  “Ya Allah, semoga niatku terkabulkan dan Engkau memberi jalan yang terbaik bagi mereka,” gumamku.

Sukarman adalah suami yang bertanggung jawab terhadap keluarganya. Dia  rajin bekerja untuk mencari nafkah. Sehari-harinya Sukarman berjualan cilok. (makanan terbuat dari tepung kanji berbentuk bulat yang ditusuk dengan lidi, red). Dia berjalan kaki dari satu kampung ke kampung yang lain. Dulu, Sukarman bercita-cita ingin sekolah sampai sarjana, tapi kandas karena orang tuanya tak sanggup membiayai sekolahnya.

Sukarman juga sopan dan santun. Selain itu, dia pun taat beribadah. Walau termasuk keluarga miskin, tapi Sukarman tidak mau berpangku tangan. Sifat terpuji itulah yang melekat pada dirinya.

Suatu hari, Sukarman memanggil saya. Dia minta agar saya mau membantu persalinan istrinya. Ya, Sawitri sudah waktunya melahirkan. Saya segera bergegas menuju ke rumahnya.
Saat itu cuaca buruk. Hujan deras yang mengguyur sejak ashar belum berhenti. Namun saya tak mempedulikannya. Saya ingin membantu persalinan Sawitri.

Saya terus berdoa, ”Ya Allah, mudahkanlah urusan ini. Tolonglah hamba-Mu yang dalam kesulitan. Ya Allah, semoga Sawitri dan bayinya lahir normal dan selamat, tak ada hambatan dan risiko apa pun. Ya Allah, Engkau Mahatahu. Engkau Maha Berkehendak.”
Sore menjelang malam. Hujan masih mengguyur. Hanya sesekali saja suara petir masih menggelegar. Saya tak berhenti melangkah. Kaki saya begitu kotor karena cipratan air yang jatuh ke tanah dan mengenai rok panjangku.

Ternyata tempat tinggal Sawitri cukup jauh. Rumahnya di pinggir sawah dan agak jauh dari tetangga. Suara kodok ramai bersahutan, menyambut hujan dan gelapnya malam.
Akhirnya, saya pun tiba di rumah Sawitri. Sangat memprihatinkan. Rumahnya gubuk. Di sana-sini ada air yang menetes dari atap genting yang bocor. Meskipun demikian, saya masih melihat usaha dari si tuan rumah yang selalu berusaha membereskannya, sehingga sedikit tampak rapi. Mungkin itu karena sentuhan tangan Sawitri.
Saya memeriksa Sawitri sangat berhati-hati.

“Sawitri, bersabarlah dan bersiaplah. Yakinlah, Allah pasti menolong,” saran saya pada Sawitri. Sawitri mengangguk dan tersenyum lugu. Matanya sayu, dan terlihat begitu pasrah dengan keadaannya.

Alhamdulillah, satu jam telah berlalu. Sawitri sudah melahirkan bayinya dengan normal dan selamat. Bayi perempuan mirip ibunya itu berat badannya 2.600 gram dan panjangnya 48 centi meter.

Sawitri dan Sukarman terlihat bahagia menyambut kedatangan si jabang bayi. “Terimakasih Bu Bidan, atas bantuannya,” ujar Sukarman sambil tersenyum, di wajahnya masih tampak raut kebahagiaan.

“Sukarman, Sawitri, bersyukurlah pada Allah. Dialah yang menolong kita. Kalian berdua sekarang sudah diamanahi seorang bayi yang cantik, semoga kalian bisa merawatnya dengan baik,” pesan saya padanya.

Saat saya hendak pulang, saya masih berpesan, “Sawitri, besok dan lima hari kedepan, saya akan selalu datang sampai kamu sehat dan puput pusar. Jangan cemas dan khawatir.” Setelah sepekan berlalu, tali pusar bayinya sudah lepas. Sebagai tanda syukur, Sukarman membagikan bungkusan nasi kuning kepada anak-anak tetangga terdekatnya. “Silahkan Bu Bidan dicicipi!” ujar Sukarman sambil memberi saya sepiring nasi kuning. Sebelum saya pulang, mereka memberi bungkusan plastik.

“Bu Bidan, terimalah pemberian kami ini. Jumlahnya sedikit, tapi kami mohon Ibu jangan kecewa dan kapok. Juga bila ada kekurangan kami mohon maaf. Insya Allah, nanti akan kami bayar,” Sukarman menjelaskan dengan penuh perasaaan.

Saya tertegun sambil menetap mereka berdua. Bungkusan itu lalu saya buka. Isinya ternyata uang recehan.

“Sukarman, Sawitri, saya berterimakasih apa yang kalian berikan.  Kalian berdua memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi. Saya juga bangga atas kerja keras dan pengorbanan kalian. Semoga Allah senantiasa memberi rezeki kepada kalian yang cukup, halal dan baik. Masih banyak kebutuhan yang kalian perlukan. Silahkan uang ini kalian pakai untuk kebutuhan si jabang bayi.”

Sukarman dan Sawitri tertunduk.Ya Allah, dengan izin-Mu bayi itu lahir ke dunia. Dan dengan kehendak-Mu juga saya akhirnya diberi kesempatan membantu mereka. Terima kasih ya Allah.

Semua Sudah Terlambat Saat Aku Tahu Kau Mencintaiku

Tidak ada yang lebih menyakitkan dibanding menyimpan perasaan mendalam pada seseorang. Pengakuan itu belum sempat terucap, tetapi dia yang aku cintai sudah pergi selamanya. Dia pergi tanpa tahu bahwa aku mencintainya.

Sebut saja namaku Putri, aku berusia 25 tahun saat kisah ini terjadi. Kisahku mungkin klise, aku jatuh cinta pada seorang pemuda bernama Panji. Dia adalah kakak kelasku saat kami masih sekolah di SMA yang sama. Saat kelas tiga, dia pindah ke kota lain. Tetapi takdir mempertemukan kami kembali di kampus yang sama, saat kami menempuh kuliah S2.
Ada satu hal yang selalu aku simpan dalam hatiku, aku jatuh cinta padanya. Sejak masih duduk di bangku SMA, aku selalu curi-curi pandang ketika jam istirahat. Kadang aku sengaja pamit ke toilet hanya untuk melihatnya bermain basket saat kelasnya ada pelajaran olahraga. Walaupun hanya menatapnya selama 5 menit, rasanya kebahagiaanku penuh sepanjang hari.
Remaja selalu malu-malu mengungkapkan isi hatinya, apalagi aku yang memang punya sifat pemalu. Hampir tidak ada sinyal cinta yang aku kirim padanya. Aku tidak seberani teman-temanku yang bisa titip salam atau terang-terangan mengatakan suka pada cowok yang mereka suka. Jadilah aku memendam perasaanku. Mungkin ini masih cinta monyet, yang akan memudar seiring berjalannya waktu. Dan suatu saat kelak, aku akan benar-benar jatuh cinta di tingkat yang lebih serius dengan pria lain.
Nyatanya perkiraanku salah. Walaupun saat kuliah S1 aku sempat berpacaran dengan pria lain (namanya Yanuar), aku tetap meletakkan kenangan akan Panji dalam hatiku. Singkat cerita, saat aku mengambil S2, aku bertemu lagi dengan Panji. Takdir tersebut membawaku pada rahasia yang terpendam. Hatiku kembali berdetak, kembali merasakan indahnya jatuh cinta hanya dengan menatap kedua matanya. Perasaan yang tidak pernah aku rasakan dengan Yanuar.
Beberapa kali kami berada di kelas yang sama. Dia masih Panji yang ramah dan suka bercanda. Hubungan kami tetap dekat, tapi tetap saja, tidak ada keberanian untuk mengungkapkan rasa cintaku padanya. Bagaimana aku bisa menyatakan perasaanku, ada Yanuar yang masih menjadi pacarku. Egois memang, aku bahkan sering merasa bersalah pada Yanuar, tapi aku tidak bisa membohongi hatiku. Jika saja Panji mengajakku untuk jadi kekasihnya, atau bahkan istrinya, aku tidak akan menolak.
Sayangnya, takdir yang mempertemukan kami harus berakhir. Suatu hari, di sebuah musim penghujan di akhir bulan Desember, Panji mengalami kecelakaan. Dua hari dia dirawat di UGD, tetapi nyawanya tidak tertolong. Dia pergi selama-lamanya.
Duniaku hancur,setiap inci tubuhku menjerit akan kepergiannya,aku bahkan tidak bisa lagi merasakan sakitnya hatiku,seolah ada bagian tubuhku yang hilang,jika diibaratkan, aku bagai guci yang pecah berkeping-keping.Aku hadir dalam pemakamannya. Aku hadir dalam setiap acara doa yang dilakukan keluarganya setiap malam. Di duka yang teramat sangat, ibu Panji memintaku untuk menemaninya, setelah para tamu pulang."Mbak, mbak ini temannya Panji yang namanya Putri kan?" ujar wanita tua itu. Aku bisa melihat ada duka mendalam di balik senyumnya.
Aku mengangguk, lalu wanita itu mengajakku ke sebuah ruangan, yang menurutnya adalah kamar Panji.
Wanita itu menceritakan sebuah rahasia yang tidak aku ketahui. "Anak ibu.. Panji, dia pernah bilang bahwa dia suka dengan Putri, cinta," lanjutnya.
Detik demi detik berlalu, aku mendengarkan pengakuan ibu Panji bahwa putranya ternyata memendam rahasia. Ternyata selama ini Panji melakukan hal yang sama denganku, diam-diam merahasiakan perasaannya. Bahkan sejak masih di bangku SMA.
"Waktu itu Panji pernah bilang, sekarang Putri sudah punya pacar, mungkin harus menunggu nak Putri putus dulu, baru dia berani jujur," lanjut ibu Panji dengan air mata yang jatuh dari pelupuk matanya.
Aku tidak bisa menahan air mataku, aku menangis di dalam pelukan ibu Panji. Aku menangis hingga dadaku terasa ingin meledak.
Aku menyesal,sangat menyesal.Aku tidak sempat mengatakan bagaimana perasaanku padanya.
Hingga detik ini, penyesalan itu masih ada. Masih mengganjal di dalam lubuk hatiku yang terdalam. Rasanya bahkan jauh lebih berat dibandingkan saat Panji masih hidup.
Kau bisa mendengar doa-doaku tiap malam, Panji?
Aku merindukanmu.

Cerpen: Masa lalu itu masih aku simpan

Pikiranku melayang ketika aku melihat ranjang-ranjang di rumah sakit itu. Beberapa yang lalu di ranjang itu terkujur seseorang yang sedang meregang nyawa akibat kecelakaan. Seseorang yang sangat aku cintai. Calon istriku.
Satu bulan menuju pernikahan, aku dengan calon istriku berencana mengunjungi kerabat dekatku yang berada di Yogyakarta
. Kami bermaksud untuk mengundang mereka di acara pernikahan Kami. Namun ditengah perjalanan menuju Yogyakarta bis yang Kami tumpangi mengalami kecelakaan yang menyebabkan calon istriku mengalami koma yang cukup lama.
Waktu itu, akupun mengalami patah tulang yang cukup parah. Pernikahan Kami terpaksa harus gagal karena kecelakaan tersebut.
Setahun berlalu, kondisiku sudah normal kembali, namun hatiku masih pilu ketika aku melihat calon istriku masih terbaring tak berdaya diranjang rumah sakit. Dia masih dalam keadaan koma dan entah sampai kapan keajaiban itu akan datang. Aku masih berharap dia bisa sembuh karena aku sangat mencintainya. Namun sampai kapan aku harus menunggu dengan berjuta permohonan ini.
Setiap hari sepulang kerja, aku selalu menyempatkan diri menengok dia. Aku selalu menjadikan dia seseorang yang pertama kali mendengar setiap keluh kesahku. Aku bercerita tentang apapun walaupun aku sadar, dia hanya diam dengan selang oksigen yang menutupi sebagian wajahnya. Tapi aku yakin dia mendengar semuanya.
Terkadang aku tak kuasa menahan air mata yang terus mengalir ketika aku membayangkan betapa sakitnya dia. Namun aku menyadari mungkin ini cobaan dari Yang Maha Segalanya dan aku harus bertahan dengan keadaan ini.
***
Suatu hari, orangtua calon istriku mengajakku berdiskusi tentang keadaan dia. Pendek cerita orangtua calon istriku menyarankan agar aku mencari calon istri yang lain untuk menjadi pendampingku. Mereka tak mau melihat hidupku tak menentu dengan harapan2 yang entah kapan bisa terwujud. Namun aku tegaskan bahwa aku akan menunggu dia sampai kapanpun. Apa yang terbayang jika aku menikah dengan gadis lain sementara dia masih meregang nyawa.
Aku memang tak berjanji, namun aku akan berusaha menjaga kesetiaan yang aku punya saat ini. Aku tak punya hal lain untuk mencintainya selain kesetiaan yang aku harap membuatnya bahagia.
***
Dua tahun sudah dia berbaring tak berdaya, aku masih bertahan dengan setiaku. Karena faktor ekonomi, dia terpaksa dipindahkan ke rumah. Dua tahun dirumah sakit membuat perekonomian keluarganya mengalami penurunan sehingga semua sepakat kalau dia dipindahkan perawatannya ke rumah saja.
Masih…aku masih merawatnya setiap hari walaupun dengan waktu yang sangat terbatas karena aku harus bekerja. Namun aku selalu mencoba menyempatkan waktu untuk datang ke rumahnya. Apalagi ketika weekend tiba atau hari libur, aku selalu menghabiskan waktu bersama dia.
Berkali-kali orangtuanya mengingatkanku untuk memikirkan hidupku, umurku semakin bertambah. Aku harus berfikir realistis untuk mencari calon pendamping hidup. Namun berkali-kali juga aku menjelaskan bahwa saat ini aku masih menunggunya.
***
Siang itu, di tempat kerjaku ada karyawati baru yang akan menjadi partner kerjaku karena partner kerjaku yang dulu keluar dengan alasan ingin fokus dengan keluarganya.
Anita…nama partner baruku. Cantik, menarik dan sangat ramah. Baru sebentar saja kita bisa langsung nyambung. Apalagi tanpa aku sadar ternyata dia SMUnya satu alumni denganku. Dia tiga tahun dibawah aku.
Bulan berganti, aku semakin dekat dengan Anita, bukan hanya masalah kantor yang Kami diskusikan, namun masalah pribadi dan yang lainnya.
Anita pernah menjalin hubungan dengan seorang laki-laki, namun entah kenapa laki-laki itu meninggalkannya dan lebih memilih wanita lain. Aku sering memberi masukan pada Anita, dan sebaliknya Anitapun begitu.
Suatu hari, aku mengajak Anita datang kerumah calon istriku. Aku mengenalkan Anita pada orangtua calon istriku. Anita terlihat miris ketika melihat wanita yang sangat aku cintai berbaring tak berdaya bertahun2 di tempat tidurnya. Harapan demi harapan selalu Kami rangkai dihati berharap dia membuka mata dan tersenyum.
***
Dari waktu ke waktu, hubunganku semakin dekat dengan Anita. Aku tak menolak perasaan ini ketika dihatiku terjadi sesuatu yang membuat aku nyaman bila aku bersamanya. Anita orang yang sangat perhatian. Dan mungkin itu salah satu hal yang membuat aku suka dengan dia.
Aku mencoba berbicara tentang hal ini kepada orangtua calon istriku dulu, dan mereka menyambut dengan baik. Mereka mendukungku untuk menjalani hubungan ke arah yang lebih serius dengan Anita.
***
Semakin waktu berjalan, semakin aku yakin kalau Anita mungkin diciptakan untuk menggantikan dia dalam hidupku. Bukan aku menghancurkan kesetiaanku, namun lagi2 aku dituntut untuk bersikap realistis dan meneruskan hidupku.
Hari itu aku bermaksud untuk melamar Anita. Aku sudah mempersiapkan segalanya termasuk tempat yang cukup baik untuk aku jadikan tempat lamaran. Aku ajak Anita ke sebuah café yang tak jauh dari tempat kerjaku. Dan tak menunggu lama aku langsung menyatakan maksud hatiku.
Anita sempat ragu, berkali2 dia bertanya apa aku yakin dengan keputusanku mengingat dia tahu apa yang sebenarnya berkecambuk dilubuk hatiku terkait masih ada seseorang yang terbaring lemah disana.
Namun aku menjelaskan bahwa hidupku harus terus berjalan dan pihak keluarga sudah menyetujui keputusanku. Dengan senyuman dan anggukan akhirnya dia menerima lamaranku.
***
Kini…aku sudah bertunangan dengan Anita. Tapi bukan berarti aku melupakan dia. Aku dan Anita sering berkunjung ke rumahnya. Mereka adalah bagian dari aku yang tak akan pernah aku tinggalkan. Hanya mungkin intensitas kunjungan aku tak sesering dulu mengingat kondisi aku sudah berubah sekarang.
Pernikahan aku dan Anita akan dilaksanakan sekitar enam bulan lagi. Anita pun sekarang sudah berhenti bekerja karena aturan dikantorku tidak memperbolehkan suami istri bekerja dalam satu kantor. Jadi Anita memutuskan untuk pindah kerja.
***
Siang itu, udara sangat cerah sekali. Aku bermaksud untuk mengajak Anita berjalan-jalan ke suatu tempat, namun dia menolaknya karena merasa kurang enak badan. Akhirnya akupun memutuskan untuk menghabiskan libur kali ini dirumah saja.
Setelah membereskan rumah, saatnya aku bersantai didepan TV. Tak terasa mataku terlelap dengan TV masih menyala. Tiba2 bunyi handphoneku membangunkan acara tidurku siang itu. Aku hampir tak percaya ketika aku melihat telepon rumah dia memanggilku.
Aku angkat…ternyata Ibu dia meneleponku. Ibunya memintaku untuk datang kerumahnya. Sempat aku Tanya kenapa, dia hanya menjawab ada sesuatu yang akan ditunjukkan. Pikiranku semakin tak karuan dengan semua ini. Namun akupun penasaran apa yang terjadi.
Memang sudah agak lama aku tak berkunjung dan menengok calon istriku dulu karena kesibukan dan identitas diri yang berbeda dengan yang dulu. Namun siang itu aku mencoba untuk memenuhi keinginan Ibunya untuk datang kesana.
***
Sesampai dirumahnya, Ibunya langsung memelukku dan membawaku ke kamarnya. Hampir tak percaya, dengan apa yang aku lihat. Sebelum masuk jujur aku merasa, ada orang yang terbaring lemah diranjang itu. Masih ada selang oksigen yang menutupi sebagian wajah cantiknya. Aku harus menahan rapat2 rasa sedihku setiap aku melangkah ke kamar itu. Namun siang itu aku cukup kaget dengan apa yang aku lihat. Sosok itu, hadir dengan senyuman yang selama ini aku rindu.
Dia duduk ditempat tidur dengan wajah yang sendu. Kerudung putih yang dia kenakan menambah cerah wajahnya walaupun masih terlihat pucat. Dia tersenyum, dia memanggilku walaupun masih terbata-bata. Dia sudah sadar walapun belum sembuh total.
Aku benar2 terkejut dengan apa yang aku lihat. Perasaanku campur aduk tak tahu arah. Ada perasaan bahagia yang tiada tara, ada perasaan tak menentu yang aku rasakan saat itu. Aku bahagia karena selama bertahun2 inilah waktu yang aku tunggu. Namun kondisiku sudah berbeda, karena aku sudah mempunyai Anita.
Ibunya bercerita, kalau dia sudah mengalami sadar dari komanya tepat seminggu setelah aku bertunangan dengan Anita. Sengaja Ibunya tak menceritakan hal itu karena takut mengganggu hubunganku dengan Anita. Memang setelah aku bertunangan, aku jarang menghubungi keluarga ini. Aku menjaga perasaan Anita. Namun karena permintaan dia, ibunya terpaksa menghubungi aku. Dia ingin bertemu denganku.
***
Malam itu, aku matikan handphoneku. Aku sengaja tidak mau dihubungi siapapun termasuk Anita. Pikiranku kacau. Aku tak mengerti apa yang terjadi dengan hatiku. Sejujurnya, aku masih mencintainya. Jika aku bisa memilih, aku masih ingin bersamanya dengan sisa kesetiaan yang kupunya, namun bagaimana dengan Anita. Gadis yang selama ini menyumbangkan cintanya untukku. Apa aku harus menyakitinya, apalagi sebentar lagi kita akan menikah.
Dua hari sudah akupun tidak masuk kantor, aku mengajukan cuti selama empat hari. Selama itupun handphone aku matikan. Aku berfikir, Anita pasti mencariku. Tapi tak apalah…aku masih berfikir.
Sisi lain dihatiku mengatakan bahwa aku akan bahagia bersamanya. Aku rela menunggu bertahun2 dia dalam keadaan koma, kenapa setelah dia sadar aku harus menyia2kannya. Namun lagi2 bayangan Anita selalu datang. Aku juga tak mungkin tega meninggalkan dia.
Tiga hari dalam kesendirianku, hatiku masih tersiksa dengan perasaan ini. Aku semakin tak kuasa menahan cinta yang bergejolak untuk dia. Dan rasanya aku sudah tak mampu menahannya.
Hari itu aku mencoba mendatanginya. Sesampainya didepan rumahnya, aku ragu ketika akan mengetuk pintu rumahnya, namun aku coba untuk memberikan salam. Ibunya yang membuka pintu rumahnya. Aku meminta izin untuk bertemu dia, dan Ibunya mempersilakan aku untuk langsung masuk ke kamar dia.
Ku lihat dia sedang terduduk. Dia juga cukup kaget dengan kedatanganku. Cukup kaku juga aku dengan dia, mungkin karena sudah bertahun2 kita tak saling bicara.
“Sini mas, duduk didekatku” katanya dengan nada bicara yang masih kurang jelas.
Sebelum aku berbicara…dia mengawali pembicaraan Kami, seolah dia tahu apa yang berkecambuk di hatiku saat itu.
“Mas…aku sudah tahu, apa yang terjadi denganmu…Ibu sudah menceritakan semuanya padaku..”
“Tapi aku…”belum juga aku meneruskan pembicaraanku, dia langsung berbicara lagi..
“Aku tahu, perasaan kita masih kuat, aku tahu kesetiaanmu masih tersisa untukku, namun aku tahu saat ini ada Anita yang jauh lebih membutuhkanmu…Jangan hiraukan aku Mas…aku hanya masa lalumu. Aku bersyukur aku sekarang sudah sembuh walaupun belum total, dan ternyata aku masih diberi kesempatan untuk menikmati dunia.”kata dia.
“Tapi aku mencintaimu…sangat mencintaimu…”kataku.
“Aku tahu..namun keadaan sudah berubah, aku tak ingin menjadi sosok yang hadir ditengah kalian. Terima kasih Mas,,,sudah menjagaku selama ini, terima kasih atas kesetiaanmu yang sangat luar biasa. Mungkin jalanmu bukan bersamaku. Menikahlah dengan Anita”…
Itu kalimat terakhirnya….
Sejujurnya hatiku pilu, terkadang aku menyalahkan diriku sendiri, kenapa aku tak mempunyai kesabaran sedikit saja untuk menunggunya, namun disisi lain inilah mungkin takdirku.
***
Setelah kejadian itu, aku mencoba memantapkan hatiku untuk menikahi Anita. Aku berusaha mencintainya sepenuh hati. Dan dia….aku mencoba menjadikan dia sosok terindah yang akan selalu aku simpan dan terkunci dihati.
Kini aku dan istriku Anita sudah mempunyai dua jagoan kecil, dan pindah ke luar kota. Sampai sekarangpun, Anita tidak pernah tahu kalau dia sudah sadar. Aku akan terus menjaga perasannya. Kami hidup bahagia. Namun seperti hari ini, ketika aku mengantar istriku menengok salah satu rekan kerjanya yang tengah sakit, setiap aku melihat ranjang2 dirumah sakit, pasti pikiranku melayang ke seseorang yang pernah berbaring lama disana. Dia…yang sejak aku menikah tak pernah aku tahu kabarnya.
Tapi sudahlah….aku sekarang sudah bahagia bersama istri dan anak2ku. Namun masa lalu itu…masih aku simpan.

Senin, 15 Juli 2013

Kisah dua srigala

 Ada dua ekor serigala di hutan belantara, serigala B menantang serigala A untuk menangkap seekor kelinci yang sedang makan wortel, tidak jauh dari tempat mereka berdiri,

“Ayo Serigala A, kamu bisa nggak tangkap kelinci itu?” tanya serigala B.
“Ah, itu gampang, lihat saja nih!” Jawab serigala A, dan dengan sigap serigala A itupun melompat ke arah kelinci tersebut, dan berlari mengejarnya.


Sedangkan kelinci yang melihat serigala itu, langsung lari terbirit-birit ketakutan, tanpa pikir panjang wortel yang masih dikunyahnya di lemparkan ke arah serigala tersebut, “DUAAAKK!!” begitu suaranya.
 Karena serigala adalah binatang yang kuat, maka wortel kecil yang mengenai kepalanya tidak terasa sama sekali, serigala tersebut tetap mengejar kelinci itu, 1 menit.. 2 menit.. 3 menit… sampai 5 menit.

Serigala itu belum dapat menangkap kelinci itu, karena kelinci itu larinya lebih kencang. serigala itupun kelelahan, dan menghentikan pengejarannya.

Dengan perasaan yang sangat malu, dia menunduk berjalan dan kembali ke temannya serigala B.

Setelah sampai di tempat serigala B, maka serigala B itupun bertanya, “Bagaimana? Apakah kamu bisa menangkapnya ?” tanya serigala B, lalu serigala A hanya menggeleng-gelengkan kepalanya yang masih tertunduk.

Serigala B lalu melanjutkan perkataannya : “Kamu tahu, kenapa kamu tidak bisa menangkap kelinci itu? Kamu kalah, karena kamu tidak serius. Kamu berlari mengejar kelinci hanya untuk pamer saja, sedangkan kelinci itu berlari untuk nyawanya.”

RENUNGAN
Untuk orang yang sudah bekerja, mungkin Anda merasa, Anda sangat lelah, Anda capai dengan pekerjaan, bosan, tidak ada kemajuan sama sekali dalam pekerjaan Anda. Itu dikarenakan karena Anda tidak serius dengan pekerjaan Anda.

Cobalah pikirkan kembali, apakah tujuan sebenarnya Anda bekerja?

Sebab, terkadang ada orang yang bekerja, karena tuntutan orang tua agar mencari uang sendiri, atau kadang juga ada orang yang bekerja, karena mereka merasa ‘harus’ bekerja untuk membantu orang tua mereka menghidupi keluarganya, atau ada juga orang yang bekerja karena untuk dapat pamer pada teman-temannya, pada sanak saudara, bahwa dia sudah bekerja.

Jadi, apakah tujuan Anda bekerja? Demi rasa bangga pada serigala B. Atau demi meneruskan hidup?

Minggu, 14 Juli 2013

Kisah petani dan kambingnya

Tersebutlah ada seorang
petani dan keluarganya yang
tinggal di sebuah kampung.
Tempat tinggal masyarakat di
kampung tersebut adalah
rumah yang berbentuk panggung. Umumnya kolong
rumah di sana dimanfaatkan
sebagai tempat penyimpanan
barang-barang pertanian, tapi
ada juga yang dimanfaatkan
sebagai kandang hewan ternak. Tokoh cerita kali ini adalah
seorang petani yang
menjadikan kolong rumahnya
sebagai kandang kambing
yang diternaknya. Tidak
banyak memang, namun lumayan cukup untuk
memenuhi keperluan lauknya
sepanjang tahun, bahkan di
bulan haji terkadang bisa
menjual 2 atau 3 ekor
kambing. Demikianlah kehidupan si
petani ini. Dia dan keluarganya
sudah terbiasa dengan suasana
kandang kambing itu. Suara
embiknya sudah menjadi
irama biasa bagi pendengarannya. Bahkan bau
khas kandang kambing pun
sudah tidak bermasalah bagi
indera penciuman mereka.
Sudah biasa saja. Tidak ada
yang mengganggu. Berbeda dengan keadaan pertama kali
mereka menjadikan
kolongnya sebagai kandang
kambing. Dulu isteri dan anak-
anaknya sering mengeluhkan
akan bisingnya suara embik kambing di tengah malam,
atau bau amisnya yang
menyengat sepanjang hari.
Tapi itu dulu. Sekarang tidak
lagi. Sudah terbiasa. Seolah
indera penciuman mereka sudah mati rasa terhadap bau
kambing. Pada suatu kesempatan,
keluarga petani ini
berkunjung ke rumah saudara
mereka di kampung sebelah.
Ada hajat pernikahan
ponakan mereka di sana. Kebiasaan di kampung itu,
bisa sampai tiga hari tiga
malam pestanya. Karena
keluarga si petani itu
bukanlah tamu, melainkan
saudara, maka mereka ikut menjadi panitia hajat
pernikahan tersebut.
Menbantu ini dan itunya.
Mereka larut dalam suasana
bahagia. Pesta meriah. Tamu-
tamu yang datang berpakaian dengan eloknya. Wangi
parfum semerbak di setiap
pojok. Setelah selesai pestanya
mereka pun kembali ke
kampungnya.Tapi ada sesuatu
yang lain yang mereka
rasakan setelah kembali dari
pesta pernikahan itu. Hanya baru di halaman rumahnya
saja, mereka menciumi bau
khas kambing yang
mengganggu. Dan mereka
tidak bisa tahan karenanya.
Anak isteri petani itu mulai menggerutu. Kemudian,
begitu masuk ke rumahnya,
suara embik kambing pun
bersahutan. Gerutuan anak
isterinya pun bertambah.
Tanpa menunggu waktu lama, anak dan isteri petani itu pun
mengultimatum ayah mereka
agar hari itu juga kandang
kambing harus di pindah ke
kebun belakang. Mereka tidak
tahan dengan bau dan embiknya. Ya begitulah akhirnya.
Kandang kambing pun
digusur dari kolong
rumahnya. Tiga hari yang
mereka lalui di tempat pesta
pernikahan itu telah merubah sensitifitas indera penciuman
dan pendengaran mereka
menjadi lebih ‘normal’. RENUNGAN:
Mungkin di tempat yang kita
betah sekarang ini (bisa
rumah, bisa kantor,
lingkungan, dll), ada ‘bising
suara dan bau kambing’ yang sebenarnya tidak enak. Tapi
karena kebiasaan, maka itu
sudah dianggap wajar saja. Kiranya ada baiknya kita
berkunjung ke tempat lain
yang ‘bagus dan wangi’
sejenak untuk kemudian
kembali ke rumah kita dan
bisa menata kembali segala sesuatunya agar lebih indah
dan wangi.
Mungkin demikian ilustrasi
dari benchmark dalam
pengertian sederhana yang
dicontohkan oleh seorang petani di atas. Semoga kita
dapat memetik hikmahnya.

Jumat, 12 Juli 2013

Aku Menangis Sebanyak 6 Kali untuk Adikku.

Aku dilahirkan di sebuah dusun pegunungan yang sangat terpencil. Hari demi hari, orang tuaku membajak tanah kering kuning, dan punggung mereka menghadap ke langit. Aku mempunyai seorang adik, tiga tahun lebih muda dariku.


Suatu ketika, untuk membeli sebuah sapu tangan yang mana semua gadis di sekelilingku kelihatannya membawanya, Aku mencuri lima puluh sen dari laci ayahku.

Ayah segera menyadarinya. Beliau membuat adikku dan aku berlutut di depan tembok, dengan sebuah tongkat bambu di tangannya.

"Siapa yang mencuri uang itu?" Beliau bertanya. Aku terpaku, terlalu takut untuk berbicara. Ayah tidak mendengar siapa pun mengaku, jadi Beliau mengatakan, "Baiklah, kalau begitu, kalian berdua layak dipukul!"

Dia mengangkat tongkat bambu itu tingi-tinggi. Tiba-tiba, adikku mencengkeram tangannya dan berkata, "Ayah, aku yang melakukannya!" Tongkat panjang itu menghantam punggung adikku bertubi-tubi.

Ayah begitu marahnya sehingga ia terus menerus mencambukinya sampai Beliau kehabisan nafas. Sesudahnya, Beliau duduk di atas ranjang batu bata kami dan memarahi, "Kamu sudah belajar mencuri dari rumah sekarang, hal memalukan apa lagi yang akan kamu lakukan di masa mendatang? ... Kamu layak dipukul sampai mati! Kamu pencuri tidak tahu malu!"

Malam itu, ibu dan aku memeluk adikku dalam pelukan kami. Tubuhnya penuh dengan luka, tetapi ia tidak menitikkan air mata setetes pun. Di pertengahan malam itu, saya tiba-tiba mulai menangis meraung-raung. Adikku menutup mulutku dengan tangan kecilnya dan berkata, "Kak, jangan menangis lagi sekarang. Semuanya sudah terjadi."

Aku masih selalu membenci diriku karena tidak memiliki cukup keberanian untuk maju mengaku. Bertahun-tahun telah lewat, tapi insiden tersebut masih kelihatan seperti baru kemarin. Aku tidak pernah akan lupa tampang adikku ketika ia melindungiku. Waktu itu, adikku berusia 8 tahun. Aku berusia 11.

Ketika adikku berada pada tahun terakhirnya di SMP, ia lulus untuk masuk ke SMA di pusat kabupaten. Pada saat yang sama, saya diterima untuk masuk ke sebuah universitas provinsi. Malam itu, ayah berjongkok di halaman, menghisap rokok tembakaunya,bungkus demi bungkus.

Saya mendengarnya memberengut, "Kedua anak kita memberikan hasil yang begitu baik...hasil yang begitu baik..." Ibu mengusap air matanya yang mengalir dan menghela nafas,  "Apa gunanya? Bagaimana mungkin kita bisa membiayai keduanya sekaligus?"

Saat itu juga, adikku berjalan keluar ke hadapan ayah dan berkata, "Ayah, saya tidak mau melanjutkan sekolah lagi, telah cukup membaca banyak buku." Ayah mengayunkan tangannya dan memukul adikku pada wajahnya.

"Mengapa kau mempunyai jiwa yang begitu keparat lemahnya? Bahkan jika berarti saya mesti mengemis di jalanan saya akan menyekolahkan kamu berdua sampai selesai!" Dan begitu kemudian ia mengetuk setiap rumah di dusun itu untuk meminjam uang. Aku menjulurkan tanganku selembut yang aku bisa ke muka adikku yang membengkak, dan berkata, "Seorang anak laki-laki harus meneruskan sekolahnya; kalau tidak ia tidak akan pernah meninggalkan jurang kemiskinan ini."

Aku Menangis Sebanyak 6 Kali untuk Adikku. ~ Aku, sebaliknya, telah memutuskan untuk tidak lagi meneruskan ke universitas. Siapa sangka keesokan harinya, sebelum subuh datang, adikku meninggalkan rumah dengan beberapa helai pakaian lusuh dan sedikit kacang yang sudah mengering. Dia menyelinap ke samping ranjangku dan meninggalkan secarik kertas di atas bantalku:

"Kak, masuk ke universitas tidaklah mudah. Saya akan pergi mencari kerja dan mengirimu uang."

Aku memegang kertas tersebut di atas tempat tidurku, dan menangis dengan air mata bercucuran sampai suaraku hilang. Tahun itu, adikku berusia 17 tahun. Aku 20.

Dengan uang yang ayahku pinjam dari seluruh dusun, dan uang yang adikku hasilkan dari mengangkut semen pada punggungnya di lokasi konstruksi, aku akhirnya sampai ke tahun ketiga (di universitas). Suatu hari, aku sedang belajar di kamarku, ketika teman sekamarku masuk dan memberitahukan, "Ada seorang penduduk dusun menunggumu di luar sana!"

Mengapa ada seorang penduduk dusun mencariku? Aku berjalan keluar, dan melihat adikku dari jauh, seluruh badannya kotor tertutup debu semen dan pasir. Aku menanyakannya, "Mengapa kamu tidak bilang pada teman sekamarku kamu adalah adikku?" Dia menjawab, tersenyum,

"Lihat bagaimana penampilanku. Apa yang akan mereka pikir jika mereka tahu saya adalah adikmu?
Apa mereka tidak akan menertawakanmu?" Aku merasa terenyuh, dan air mata memenuhi mataku. Aku menyapu debu-debu dari adikku semuanya, dan tersekat-sekat dalam kata-kataku, "Aku tidak perduli omongan siapa pun! Kamu adalah adikku apa pun juga! Kamu adalah adikku bagaimana pun penampilanmu..."

Dari sakunya, ia mengeluarkan sebuah jepit rambut berbentuk kupu-kupu. Ia memakaikannya kepadaku, dan terus menjelaskan, "Saya melihat semua gadis kota memakainya. Jadi saya pikir kamu juga harus memiliki satu." Aku tidak dapat menahan diri lebih lama lagi. Aku menarik adikku ke dalam pelukanku dan menangis dan menangis. Tahun itu, ia berusia 20, Aku 23.

Kali pertama aku membawa pacarku ke rumah, kaca jendela yang pecah telah diganti, dan kelihatan bersih di mana-mana. Setelah pacarku pulang, aku menari seperti gadis kecil di depan ibuku. "Bu, ibu tidak perlu menghabiskan begitu banyak waktu untuk membersihkan rumah kita!" Tetapi katanya, sambil tersenyum,
"Itu adalah adikmu yang pulang awal untuk membersihkan rumah ini. Tidakkah kamu melihat luka pada tangannya? Ia terluka ketika memasang kaca jendela baru itu.."

Aku masuk ke dalam ruangan kecil adikku. Melihat mukanya yang kurus, seratus jarum terasa menusukku. Aku mengoleskan sedikit saleb pada lukanya dan mebalut lukanya. "Apakah itu sakit?" Aku menanyakannya. "Tidak, tidak sakit. Kamu tahu, ketika saya bekerja di lokasi konstruksi, batu-batu berjatuhan pada kakiku setiap waktu. Bahkan itu tidak menghentikanku bekerja dan..."

Ditengah kalimat itu ia berhenti. Aku membalikkan tubuhku memunggunginya, dan air mata mengalir deras turun ke wajahku. Tahun itu, adikku 23, Aku berusia 26. Ketika aku menikah, aku tinggal di kota.
Banyak kali suamiku dan aku mengundang orang tuaku untuk datang dan tinggal bersama kami, tetapi mereka tidak pernah mau. Mereka mengatakan, sekali meninggalkan dusun, mereka tidak akan tahu harus
mengerjakan apa. Adikku tidak setuju juga, mengatakan, "Kak, jagalah mertuamu aja. Saya akan menjaga ibu dan ayah di sini." Suamiku menjadi direktur pabriknya.

Kami menginginkan adikku mendapatkan pekerjaan sebagai manajer pada departemen pemeliharaan. Tetapi adikku menolak tawaran tersebut. Ia bersikeras memulai bekerja sebagai pekerja reparasi. Suatu hari, adikku diatas sebuah tangga untuk memperbaiki sebuah kabel, ketika ia mendapat sengatan listrik, dan masuk rumah sakit. Suamiku dan aku pergi menjenguknya. Melihat gips putih pada kakinya, saya menggerutu, "Mengapa kamu menolak menjadi manajer?
 Manajer tidak akan pernah harus melakukan sesuatu yang berbahaya seperti ini. Lihat kamu sekarang, luka yang begitu serius. Mengapa kamu tidak mau mendengar kami sebelumnya?" Dengan tampang yang serius pada wajahnya, ia membela keputusannya. "Pikirkan kakak ipar--ia baru saja jadi direktur, dan saya hampir tidak berpendidikan. Jika saya menjadi manajer seperti itu, berita seperti apa yang akan dikirimkan?"

Mata suamiku dipenuhi air mata, dan kemudian keluar kata-kataku yang sepatah-sepatah: "Tapi kamu kurang pendidikan juga karena aku!" "Mengapa membicarakan masa lalu?" Adikku menggenggam tanganku. Tahun itu, ia berusia 26 dan aku 29. Adikku kemudian berusia 30 ketika ia menikahi seorang gadis petani
dari dusun itu. Dalam acara pernikahannya, pembawa acara perayaan itu bertanya kepadanya, "Siapa yang paling kamu hormati dan kasihi?" Tanpa bahkan berpikir ia menjawab, "Kakakku."

Ia melanjutkan dengan menceritakan kembali sebuah kisah yang bahkan tidak dapat kuingat. "Ketika saya pergi sekolah SD, ia berada pada dusun yang berbeda. Setiap hari kakakku dan saya berjalan selama dua jam untuk pergi ke sekolah dan pulang ke rumah. Suatu hari, Saya kehilangan satu dari sarung tanganku. Kakakku memberikan satu dari kepunyaannya. Ia hanya memakai satu saja dan berjalan sejauh itu. Ketika kami tiba di rumah, tangannya begitu gemetaran karena cuaca yang begitu dingin sampai ia tidak dapat memegang sumpitnya. Sejak hari itu, saya bersumpah, selama saya masih hidup, saya akan menjaga kakakku dan baik kepadanya."

Tepuk tangan membanjiri ruangan itu. Semua tamu memalingkan perhatiannya kepadaku. Kata-kata begitu susah kuucapkan keluar bibirku, "Dalam hidupku, orang yang paling aku berterima kasih adalah adikku." Dan dalam kesempatan yang paling berbahagia ini, di depan kerumunan perayaan ini, air mata bercucuran turun dari wajahku seperti sungai.

Renungan :

Ketika kesulitan terjadi, terkadang hanya saudara kita yang rela menanggung semua beban. Hargai lah saudara yang kita punya..

Kamis, 11 Juli 2013

Kisah Pengusaha Tomat Sangat Sukses

Ditolak Bekerja Di Microsoft Berubah Menjadi Pengusaha Tomat – Seorang laki-laki pengangguran melamar posisi sebagai ‘office boy’ di Microsoft. Manajer SDM mewawancarainya, kemudian melihatnya untuk membersihkan lantai sebagai ujian.
‘Anda bekerja “katanya.

“Berikan alamat e-mail Anda dan saya akan mengirimkan aplikasi untuk diisi, juga tanggal ketika Anda dapat mulai bekerja.”
Pria itu menjawab, “Tapi saya tidak punya komputer, bahkan email ‘. “Maafkan aku”, kata manajer HR. Jika Anda tidak memiliki email, itu berarti Anda tidak ada. Dan siapa yang tidak ada, tidak dapat memiliki pekerjaan. “
Orang itu tanpa harapan sama sekali. Dia tidak tahu apa yang harus dilakukan, dengan hanya memiliki uang $ 10 di saku. Ia kemudian memutuskan untuk pergi ke supermarket dan membeli 10kg peti tomat. Dia kemudian menjual secara keliling tomat itu dari rumah ke rumah. Dalam waktu kurang dari dua jam, dia berhasil melipatgandakan modalnya.
Dia mengulangi penjualannya secara keliling tiga kali, dan pulang dengan uang $ 60. Lelaki itu menyadari bahwa ia bisa bertahan hidup dengan berjualan tomat, dan dia mulai untuk pergi berjualan tomat sehari-hari dan sering pulang larut malam mendagangkan jualannya hari demi hari uang keuntungan yg didapat dua kali lipat atau tiga kali lipat dalam penjualannya sehari-hari. Tak lama, ia membeli mobil, lalu truk, dan kemudian ia mempunyai armada kendaraan pengiriman sendiri.
5 tahun kemudian, orang itu menjadi salah satu pengusaha food retailer terbesar di Amerika Serikat. Ia mulai merencanakan masa depan keluarganya, dan memutuskan untuk memiliki asuransi jiwa. Dia memanggil broker asuransi, dan memilih rencana perlindungan. Ketika percakapan broker bertanya tentang email yang akan dipakai untuk keperluan asuransi.
Pria itu menjawab, “Aku tidak punya email.”
broker itu menjawab ingin tahu mengapa ia tidak punya email,
‘Anda tidak memiliki email, namun telah berhasil membangun sebuah imperium perusahaan bisnis. Dapatkah Anda membayangkan apa yang bisa terjadi jika Anda memiliki email!!? ”
Pria itu berpikir sejenak dan menjawab, “Ya, aku akan menjadi seorang office boy di Microsoft!!”
Pesan dari cerita diatas:
Ketika satu pintu tertutup, pintu lain terbuka. Namun terkadang kita melihat dan menyesali pintu tertutup terlalu lama sehingga tidak melihat pintu lain yang telah terbuka. Jangan pernah berhenti berusaha dan jangan menyerah karena gagal, serta berani melangkah.

Senin, 08 Juli 2013

Ru’yatul (Melihat) Hilal, Cara Menentukan Awal Puasa dan Hari Raya

Terdapat berbagai dalil yang jelas dan tegas dari berbagai hadis Rasulullah tentang penggunaan ruyat dalam menentukan awal puasa maupun hari raya, sebagaimana yang diyakini dan dipahami oleh jumhur (kebanyakan ulama).Ke-empat mahzab yang ada semuanya juga sepakat untuk tidak memakai hisab
(perhitungan) dalam penetapan bulan Ramadhan atau Syawwal.
Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Berpuasalah kalian karena melihatnya (hilal) dan berbuka (tidak berpuasa) karena melihatnya pula. Dan jika awan (mendung) menutupi kalian, maka sempurnakanlah hitungan bulan Syaban menjadi tiga puluh hari.” (Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim. (Shahiih al-Bukhari (III/24) dan Shahiih Muslim (III/122))
Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyebut Ramadhan, lalu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Janganlah kalian berpuasa sampai kalian melihat hilal (bulan Ramadhan) dan jangan pula kalian berbuka (tidak berpuasa) sampai kalian melihatnya (bulan Syawwal). Jika awan menyelimuti kalian maka perkirakanlah untuknya.”
Imam an-Nawawi rahimahullah mengatakan, “…Al-Mazari mengatakan, Jumhur Fuqaha telah mengarahkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : perkirakanlah untuknya kepada makna bahwa yang dimaksudkan adalah dengan menyempurnakan hitungan bulan menjadi 30 hari, sebagaimana yang dia tafsirkan di dalam hadits lain. Mereka mengatakan, ‘Tidak boleh dimaksudkan bahwa perhitungan itu berdasarkan perhitungan hisab ahli falak/hisab, karena seandainya orang-orang itu dibebani hal itu, niscaya mereka akan merasa kewalahan, karena hal itu tidak dapat diketahui kecuali hanya oleh beberapa orang tertentu saja, sedangkan syari’at Islam dapat diketahui oleh banyak orang. Wallaahu a’lam…” (Shahiih Muslim bi Syarh an-Nawawi (VII/189)).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan, “…Kita telah mengetahui dari ajaran Islam bahwa mengamalkan ru’yah hilal puasa, haji, iddah, ila’ atau hukum-hukum lainnya yang berkaitan dengan hilal berdasarkan berita dari orang yang melakukan hisab dengan pernyataan bahwa dia telah melihat atau tidak melihat adalah tidak boleh. Cukup banyak nash dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai hal tersebut. Kaum muslimin telah sepakat mengenai hal tersebut, dan tidak diketahui adanya perbedaan pendapat mengenai hal itu dari sejak dahulu kala…” (Majmuu Fataawaa Syaikhil Islam Ibni Taimiyyah (XXV/132))
Imam Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah mengatakan, “…Yang dimaksud dengan hisab di sini adalah perhitungan bintang dan perjalanannya dan mereka tidak mengetahui hal tersebut, kecuali hanya sedikit orang saja. Oleh karena itu, hukum yang terkait dengan (awal atau akhir) puasa dan yang lainnya adalah dengan memakai ru’yah untuk menghilangkan kesulitan dari mereka dalam melakukan hisab perjalanan bintang yang cukup berat. Hukum itu terus berlaku pada puasa, meskipun setelah itu ada orang yang mengetahui hal tersebut. Bahkan, lahiriah hadits ini mengandung penolakan terhadap penyandaran hukum (penentuan bulan) pada hisab. Hal itu dijelaskan oleh sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam hadits terdahulu: “Dan jika awan menaungi kalian, maka sempurnakanlah hitungan bulan Sya’ban menjadi 30 hari.” Dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengatakan, “Maka tanyakanlah kepada ahli hisab.” Dan hikmah dalam hal itu, bahwa jumlah hitungan pada saat berawan (mendung) dan hitungannya menjadi sama bagi orang yang hendak berpuasa sehingga perbedaan dan perselisihan itu dihilangkan dari mereka…” (Fat-hul Baari (IV/127)).
Bagaimana dengan pendapat yang menyatakan bahwa metode hisab adalah metode yang penghitungannya sangat akurat, dan dijadikan sebagai pembantu untuk menetapkan awal bulan Ramadhan apabila cuaca sedang tidak baik dimana kemunculan bulan bisa saja terhalang oleh awan?
Seharusnyalah kita mencukupkan diri dengan apa yang telah dijelaskan Rasulullah dalam hadisnya. Islam adalah mudah dan bisa dimengerti oleh setiap orang. Allah sudah memberikan kemudahan kepada kita dengan cara melihat langsung bulan yang bisa terlihat oleh siapa saja. Kenapa harus dibuat rumit dan sulit dengan memakai perhitungan yang hanya orang tertentu saja yang tahu?
Dan sekali-kali Dia tidak menjadikan untukmu dalam agama suatu kesempitan…”[Al Quran, Surah Al-Hajj: 78]
Tidakkah kita merasa cukup dengan apa yang sudah Allah dan rasulnya tetapkan ? Kenapa harus menambah-nambah hal-hal dalam agama dalam suatu hal yang tuntunannya jelas-jelas ada dalam agama ? Tentang bulan yang tertutup awan atau cuaca tak bagus, bukankah jelas-jelas di dalam hadis rasulullah di awal tulisan ini yang menyuruh kita menggenapkan bulan syaban menjadi 30 hari jika bulan tertutup awan?
Selain itu, ilmu falak atau astronomi sebagaimana yang digunakan dalam hisab sudah ada sejak dulu kala, termasuk di era rasulullah hidup, walaupun mungkin tak berkembang di dunia arab. Tetapi tetap saja Rasulullah tak pernah menyuruh umat Islam belajar atau bertanya pada ahli perbintangan/hisab untuk menentukan awal puasa dan hari raya. Perhatikan hadis yang diriwayatkan dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma, dimana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Sesungguhnya kami adalah umat yang buta huruf, tidak dapat menulis dan tidak pernah menghisab, jumlah hari-hari dalam sebulan adalah begini dan begini (sambil memberi isyarat dengan kedua tangannya).” (Diriwayatkan al-Bukhari dan Muslim. (Shahiih al-Bukhari (III/24) dan Shahiih Muslim (III/122))
Yakni, terkadang 29 dan terkadang 30 hari. (Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim. (Shahih al-Bukhari (III/25) dan Shahiih Muslim (III/124))
Mengenai harus berapa orang yang melihat hilal, ulama berbeda pendapat. Diantara yang dianggap rajih (kuat) adalah dalam menetapkan hilal Ramadhan cukup dengan kesaksian satu orang saja. Sedangkan pada ru’yah hilal bulan Syawwal harus didasarkan pada kesaksian dua orang.
Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Di antara petunjuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah tidak membolehkan seseorang memasuki puasa Ramadhan kecuali dengan ru’yatul hilal yang sudah terbukti, atau kesaksian satu orang, sebagaimana beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan puasa berdasarkan pada kesaksian Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma. Selain itu, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga berpuasa berdasarkan kesaksian seorang Badui dan bersandar pada pemberitahuan dari keduanya…”( Zaadul Ma’aad (I/1325))
Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah mengatakan, “… Penyandaran ru’yah tidak pada setiap orang, tetapi yang dimaksudkan dengan hal tersebut adalah ru’yah sebagian orang saja, yaitu orang yang bisa dipercaya untuk itu. Menurut Jumhur Ulama adalah satu orang, sedangkan menurut yang lainnya adalah dua orang…” (Fat-hul Baari (IV/123), Lihat juga kitab Haasyiyah Ibni Abidin (II/384 dan setelahnya), Syarh ash-Shaghiir (II/219 dan setelahnya), Raudhatuth Thaalibiin (II/345), al-Mughni (IV/325 dan setelahnya), Subulus Salaam (II/207 dan setelahnya))
Untuk menerima kesaksian ru’yatul hilal ini disyaratkan agar orang yang memberi kesaksian itu harus sudah baligh, berakal, muslim, dan beritanya dapat dipercaya atas amanat dan penglihatannya.
Kesaksian anak kecil tidak dapat dijadikan dasar penetapan masuk dan keluarnya bulan Ramadhan, karena ia tidak dapat dipercaya. Demikian juga halnya dengan seorang yang tidak waras (gila).
Kesaksian orang kafir juga tidak dapat dijadikan dasar untuk menetapkannya, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkata kepada orang Badui tersebut:
Apakah kamu bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah dan bahwasanya aku adalah Rasulullah.”
Dengan demikian, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyandarkan penerimaan kesaksian seseorang itu pada keislamannya.
Orang yang beritanya tidak dipercaya karena telah dikenal suka berbohong atau suka bertindak tergesa-gesa atau karena dia memiliki pandangan lemah yang tidak memungkinkan baginya untuk melihat hilal, maka kesaksiannya tidak dapat dijadikan dasar untuk menetapkan bulan Ramadhan. Hal tersebut karena adanya keraguan terhadap kejujuran dan sifat dusta yang dominan pada dirinya.
Terlepas dari ketentuan menggunakan ru’yat (melihat hilal) dalam agama untuk menentukan awal puasa dan hari raya, umatIslam seharusnya tunduk dan patuh pada keputusan pemerintah masing-masing negaramenyangkut awal puasa dan hari rayasekalipun ada kontroversi dalam pengambilan keputusannya.