Sabtu, 14 September 2013

Kitalah yang menciptakan masalah


Masalah rumah tangga memang tidak pernah habis di kupas, baik di media cetak, radio, layar kaca, maupun di ruang-ruang konsultasi. “Dari soal pelecehan seksual, selingkuh, istri dimadu, sampai suami yang tidak memenuhi kebutuhan biologis istri.” Ujar seorang konsultan spiritual di Jakarta.
Kebetulan, teman dekatnya punya masalah. Ceritanya, seiring dengan pertambahan usia, plus karir istri yang menanjak, kehidupa perkawinannya malah mengarah adem. Seperti ada sesuatu yang tersembunyi. Keakraban dan keceriaan yang dulu dipunya keluarga ini hilang sudah. Si istri seolah disibukkan urusan kantor.
‘Apa yang harus aku lakukan,” ungkapan pria ini. Konsultasi spiritual itu menyarankan agar dia berpuasa tiga hari, dan tiap malam wajib shalat tahajud dan sujud shalat syukur. “Coba lebih mendekatkan diri kepada Tuhan, Insya Allah masalahanya terang. Setelah itu, kamu ajak omong istrimu di rumah.” Ia menyarankan.
Oke. Sebuah saran yang mudah dipenuhi. Tiga hari kemudian, dia mengontak istrinya. “Bagaimana kalau malam ini kita makan di restoran,” katanya. Istriny tidak keberatan. Makanan istimewa pun dipesan, sebagai penebus kehambaran rumah tangganya.
Benar saja. Di restoran itu, istrinya mengaku terus terang telah menduakan cintanya. Ia punya teman laki-laki untuk mencurahkan isi hati. Suaminya kaget. Mukanya seakan ditampar. Makanan lezat di depanya tidak di sentuh. Mulutnya seakan terkunci, tapi hatinya bergemuruh tak sudi menerima pengakuan dosa” itu.
Pantas saja dia selalu beralasan capek, malas, atau tidak bergairah jika disentuh. Pantas saja, suatu malam istrinya pura-pura tidur sembari mendekap handphone, padahal alat itu masih menampakkan sinyal—pertanda habis dipakai berhubungan dengan seseorang. Itu pula, yang antara lain melahirkan kebohongan demi kebohongan.
Tanpa diduga, keterusterangan itu telah mencabik-cabik hati pria ini. Keterusterangan itu justru membuahkan sakit hati yang dalam. Atau bahkan, lebih pahit dari itu. Hti pria ini seakan menuntut, “Kalau saja aku tidak menuntut nasihatmu, tentu masalahnya tidak separah ini.”
Si konsultan yang dituding, “Ikut menjebloskan dalam duka.” Meng-kick balik. “Bukankah sudah saya sarankan agar mengajak istrimu ngomong di rumah, bukan di restoran?” Buat orang awam, restoran dan rumah sekedar tempat. Tidak lebih. Tapi, dimata si paranormal, tempat membawa “takdir”tersendiri.
Dan itulah yang terjadi. Keterusterangan itu tak bisa dihapus. Ia telah mencatatkan sejarah tersendiri. Maka jalan terbaik menyikapinya adalah seperti dikatakan orang bijak, “Jangan membiasakan diri melihat kebenaran dari satu sisi saja.”
Kayu telah menjadi arang. Kita tidak boleh melarikan diri dari kenyataan, sekalipun pahit. Kepalsuan dan kebohongan tadi bisa jadi merupakan bagian dari perilaku kita jua. “Kita selalu lupa bahwa kita bertanggung jawab penuh atas diri kita sendiri. Kita yang menciptakan masalah, kita pula yang harus meyelesaikannya.” Kata orang bijak.
Pahit getir, manis asam, asin hambar, itu sebuah resiko. Memang kiat hidup itu tak lain adalah piawai dan bijak dalam memprioritaskan pilihan.

Selasa, 10 September 2013

Nasihat Bijak untuk Anak

Pada suatu hari, di sebuah sekolah menengah. Saat jam istirahat, ada perkelahian antara dua murid laki-laki di kelas. Kerumunan murid pun berakhir saat seorang guru datang menengahi dan melerai mereka. Tidak lama kemudian, saat pelajaran berikutnya akan dimulai, Kepala Sekolah sekolah masuk ke kelas tersebut dan langsung menyampaikan maksud kedatangannya.


"Andika, kamu nanti datang kantor Bapak, jam 3 sore."Seisi kelas terdiam sedangkan murid yang dimaksud seketika berwajah pucat pasi.

"Baik Pak," ia menjawab lemah. Habis aku! Pasti akan dimarahi dan dikenai sanksi gara-gara perkelahian tadi, begitu pikir Andika.

Tepat pukul 3 sore, Andika telah ada di depan kantor dan mengetuk pintu ruangan kepala sekolah. Jantungnya berdegup keras dan tubuhnya serasa lunglai.

"Masuk!" terdengar suara dari dalam. Andika pun masuk. Dengan takut-takut, ia berdiri dekat meja kepala sekolah, sambil menundukkan kepalanya dalam-dalam.

"Duduklah Andika. Kamu tentu sudah bisa menebak, kenapa Bapak memanggilmu kan? Tentu berkaitan dengan perkelahianmu tadi," kata kepala sekolah yang diikuti anggukan kepala Andika.

Lanjutnya, "Andika telah melanggar peraturan tentang tidak boleh berkelahi di dalam lingkungan sekolah, apalagi di kelas. Tetapiada beberapa hal yang ingin bapak sampaikan berkaitan dengan kasusmu ini. Pertama, bapak senang kamu datang tepat waktu, itu menunjukkan kamu adalah anak yang disiplin." Beliau membuka laci mejanya, mengambil sebuah permen, dan meletakkannya di meja.

"Kedua, bapak menghargai kedatanganmu saat ini. Artinya kamu menghargai bapak sebagai guru dan kepala sekolahmu. Kamu adalah anak yang berjiwa besar dan siap bertanggung jawab. Betul begitu Andika?' Kembali Andika mengiyakan dalam diam. Beliau mengambil permen dan meletakkannya lagi di meja.

"Bapak sudah berbicara dengan guru yang melerai perkelahian dan mendengar dari beberapa temanmu. Kamu berkelahi dengan Rudi karena membela teman perempuan yang dilecehkan olehnya. Benar begitu? Bapak salut. Ini pertanda kamu adalah seorang gentleman, laki-laki sejati. Tapi ingat: berkelahi bukanlah pilihan untuk menyelesaikan masalah. Andika harus lebih bijak dan jelas, bukan dengan berkelahi seperti tadi." Kepala sekolah meletakkan sebuah permen lagi di atas meja.

"Nah yang terakhir, karakter positif yang telah Andika tunjukkan hari ini harus dipertahankan dan dikembangkan di masa depan. Bapak yakin kamu akan berubah dan akan maju di kemudian hari. Belajar lebih baik Andika, oke?" Sambil tersenyum, beliau menambahkan satu buah permen lagi di meja dan menyodorkan permen-permen tersebut ke arah Andika. "Ambillah hadiah dan kenang-kenangan dari Bapak ini!"

Andika yang awalnya ketakutan akan mendapat hukuman, dan tidak menyangka justru mendapat "penghargaan" dari kepala sekolahnya, mengangguk mantap. "Terima kasih Pak. Saya sangat terkejut. Bapak tidak menghukum saya bahkanmemuji dan menghargai saya. Saya berjanji, pasti berubah dan akan lebih rajin belajar untuk masa depan saya sendiri."

Pembaca yang Bijaksana,


Betapa pentingnya nilai budi pekerti ditanamkan kepada anak-anak sejak dini. Kita tahu, mereka kadang melakukan kesalahan tetapi kalau cara kita sekadar keras dengan hanya menghukum tanpa diberi pengertian yang baik, tentu akan melahirkan ketidaksehatan perkembangan mental. Antara lain, bisa menimbulkan sakit hati, dendam, kebencian,depresi, putus asa, dan sifat-sifar negatif lainnya.

Akan tetapi bila kita mampu memberikan pengertian sekaligus menanamkan budi pekerti yang baik, sekalipun ada hukuman, tetap nilainya akan berbeda. Harga diri dan kepercayaan diri anak-anak tetap terjaga dan sangat positif dalam pertumbuhan di kehidupan mereka selanjutnya.

Semoga Bermanfaat Dan Men Motivator Kita Untuk Sukses

Cintaku disegala sisi..

Kebiasaan kita, khususnya aku, akan timbul rasa suka atau simpati karena seseorang mempunyai sisi baik. Sisi baik yang menyenangkan rasa, membuatku bisa bersyukur berjumpa pada seseorang. Misalnya istriku saat ini.
Cinta tumbuh dan berkembang karena melihat karakternya yang lembut dan bersahaja, dan gampang menolong orang lain yang kesusahan. Akhirnya aku pun bertekat untuk mempersuntingnya untuk jadi pendamping hidupku. Membayangkan sebuah rumah tangga yang penuh saling perhatian dan tentu saja cinta yang menjadi pilar kekokohan persatuan kami.

Itu lah impianku. Tapi, impian tidak lah memang harus sama dengan kenyataan. Ternyata banyak hal yang belum aku ketahui tentang istriku ini. Sisi baik yang membuatku terpikat pada awalnya, ternyata bagaikan satu buah sisi mata uang receh. Ternyata dia pun punya sisi yang lainnya, yang tak pernah aku bayangkan.
Satu dua hari pernikahan kami, aku pun kembali pulang ke orang tuaku. Tak kuat dengan apa yang belum dibukakannya kepadaku. Ternyata dia adalah janda kembang di kampungnya. Aku tak tahu, karena tak ada sedikit pun informasi darinya atau pun dari pihak lain.
Bukan aku mempermasalahkan tentang statusnya yang janda, tapi yang sangat aku sayangkan setelah ijab kabul dilakukan baru lah aku tahu, siapa sebenarnya istriku tersebut. Pengantin baru seharusnya adalah masa indah yang patut di kenang, ternyata aku harus bergulat dengan egoisme tentang harga diri seorang laki-laki yang merasa di bohongi. Sakit, itulah yang aku rasakan.
Beruntung aku mempunyai kedua orang tua yang berpandangan luas tentang hidup. Beliau mengatakan bahwa ini adalah takdir yang harus aku jalani dalam hdiupku. Memang ini cobaan ku, karena aku terlahir dengan sifat yang sangat penyabar. Ternyata memang Allah memberikan ujian sesuai dengan tingkatan iman kita. Mereka tak ingin aku menceraikan istriku dengan alasan apapun. Aku pun patuh pada nasehat mereka. Setelah mulai membuka diri untuk berdamai dengan hati, maka aku pun berusaha untuk belajar menerima istriku dengan status yang disembunyikannya tersebut. Tapi ternyata itu adalah awal dari sifat yang lainnya, yang tak pernah aku temui selama ini. Ternyata perangai terhadap kedua orang tuanya berbanding terbalik dengan diriku. Aku yang tak pernah bersuara keras apalagi membentak kedua orang tuaku, ternyata istriku malah sebaliknya. Aku pun terhenyak kembali. Belum lagi lidahnya setajam silet, yang gampang sekali mengeluarkan kata yang dapat melukai seseorang seumur hidupnya. Aku sangat terpukul. Ternyata yang nampak di mataku sebuah kebaikan, ternyata di iringi dengan banyak kemungkaran yang tak pernah terbayangkan.
Istri yang aku kawini karena aku sangat mencintainya, ternyata adalah sebuah ujian untuk aku jalani seumur hidupku hingga kini. Ujian yang tak mungkin aku lepas, karena aku telah berjanji kepada kedua orang tuaku untuk tidak akan pernah menceraikannya sampai ajal merengut nyawaku. Sebuah pertahanan yang sangat kuat harus aku tanamkan, kemana aku harus bersandar bila aku tidak memulangkannya kepada penentu “Takdir”ku, Ilahi Robbi.
Setelah beberapa tahun perkawinan kami, hingga dikarunia dua anak yang lahirnya berdekatan, aku dan istriku masih sering kali bertengkar sengit dan kadang membuat anak-anak kami ketakutan. Aku yang tadinya bukanlah tipe pemarah dan gampang mengeluarkan kata makian, ternyata beberapa tahun bersama istriku aku telah berubah menjadi seseorang yang sebenarnya tidak aku sukai. Aku bukanlah aku yang dulu, yang selalu takut melukai lawan bicaraku. Ternyata istriku dengan tabiatnya yang banyak di luar perkiraanku, mengubahku menjadi seorang pemarah dan pemaki. Walau pun itu hanya aku lakukan padanya. Tapi sungguh aku sering menangis, di kala istriku tidur. Dan munajat panjang ku di malam dingin, seringkali membuatku terpekur. “Mengapa aku jadi begini?”.
Banyak do’a yang telah keluar dari bibir ini. Banyak ustadz yang aku datangi untuk merubah prilaku istriku, ternyata semuanya tidak ada kelihatan hasilnya. Istriku masih dengan sifat bawaannya, padahal dia rajin shalat. Aku sangat kecewa dan hampir putus asa.
Kemudian Allah memberikan hidayah ke dalam hatiku. Rasa ku yang dulunya kelam, ternyata dapat menangkap cahaya Ilahi. Cahaya yang membuatku dapat melihat apa yang sesungguhnya ada di hadapanku kini. Padahal kedua orang tua ku dulunya sebelum meninggal telah menyampaikannya, tapi ternyata setelah perkawinan kami menginjak dua belas tahun aku dapat memahami semua kejadian ini.
Cintaku ada karena melihat perangai baiknya, sebelum aku mempersuntingnya. Ternyata dalam cinta yang kita genggam bukan hanya harus memiliki satu sisi. Sisi buruk apa pun yang di miliki pasangan kita adalah sebuah anugerah bagi kita.
Kita harus mampu menerima keburukan, sebagaimana kita menerima kebaikannya. Cinta kepada sesuatu tidak harus banyak menuntut, tapi bagaimana sesuatu yang tidak menyenangkan mata dan hati, dapat kita ambil untuk di pelajari kemudian untuk di petik hikmahnya. Seperti bagaiaimana kuatnya kemauan Rasulullah Saw untuk meng-Islamkan pamannya Abu Thalib, ternyata beliau tak mampu. Begitu pula aku yang hanya manusia biasa.
Istriku hingga kini adalah tempatku belajar untuk sabar dan berusaha memahami bagaimana sifat dan karakternya saat ini. Dia tidak terlalu bersalah, karena aku menyadari itu adalah hasil didikan dari lingkungannya, baik dari kedua orang tuanya maupun dari keluarga besarnya.
Jadi di umur yang tidak bisa dikatakan muda lagi dan kedua anak kami yang telah menyelesaikan pendidikannya, membuatku lebih tenang dalam mengisi sisa-sisa hidupku ini. Aku merasakan sebuah ketenangan dan penerimaan total atas semua dua sisi sifat istriku yang aku cintai itu dengan sangat sadar.
Sadar bahwa memang hidup di dunia ini, akan selalu ada cobaan. Kita tak bisa merasakan sebuah nikmat bila kita selalu mempermasalahkan sesuatu yang kurang. Baik pada pasangan hidup kita, anak-anak kita atau orang-orang yang selalu bersifat kurang terpuji terhadap kita. Intinya adalah menyikapi semua hal dengan lapang dada dan sadar semuanya adalah skenario Allah Swt.
Karena sebuah kebaikan tentu lah hal yang menyenangkan yang tak perlu kita persoalkan. Bila kita menyukai seseorang karena kebaikannya, maka bersiaplah untuk pula menerima sifatnya yang tidak kita sangka, yang bila kita permasalahkan akan betul-betul menjadi masalah.
Saat ini yang aku kejar adalah sisa umurku yang tidak lama lagi, bila di sandingkan dengan umurnya Rasulullah. Maka oleh itu lah aku sangat bersyukur, karena sesuatu yang tadinya aku anggap sebuah beban ternyata adalah bentuk kasih sayang dari Allah Swt. Dengan memberikan sebuah pembelajaran dan didikan bertahun-tahun yang harus sangat payah harus ku emban, ternyata berbuah manis untuk ku petik di masa tua ini. Jadi hidup ini memang sebuah perjalanan rohani yang harus selalu kita gali hikmahnya, agar semua yang kita temui dalam perjalanan singkat di dunia ini merupakan sebuah kesadaran. Sadar bahwa semuanya adalah kehendak-Nya. Karena bagaimana pun banyak ilmu yang telah kita pelajari, atau banyak buku yang telah kita baca, semuanya itu tidak akan berfaedah bila rasa ikhlas tidak ada dalam jiwa kita.
Tiada daya dan upaya melainkan semuanya datangnya dari Allah Subhanahu wata’ala..

Sabtu, 07 September 2013

Karena Kesabaran Menghadapi Istrinya

Seorang yang saleh mempunyai saudara yang tempat tinggalnya sangat jauh, karena itu jarang sekali ia bisa mengunjunginya. Setelah beberapa tahun tidak bertemu, ia datang mengunjunginya. Tetapi tampak rumahnya tertutup, maka ia mengetuk pintunya dan mengucap salam. Terdengar suara ketus seorang wanita dari dalam rumah, yang mungkin istrinya, “Siapa??”

            Ia berkata, “Aku saudara suamimu, datang dari jauh untuk menjenguknya!!”
            Tanpa membukakan pintu, terdengar suaranya yang ketus lagi, “Ia masih pergi mencari kayu, semoga saja Allah tidak mengembalikannya lagi ke sini….”
            Kemudian masih diteruskan dengan berbagai macam caci-maki kepada saudaranya itu. Ia hanya bisa geleng-geleng kepala mendengarnya. Ia tahu betul bahwa saudaranya itu juga saleh seperti dirinya, karena memang begitulah kedua orang tuanya dahulu mendidiknya. Segala macam umpatan dan cacian itu mungkin salah sasaran kalau ditujukan kepada saudaranya itu.
            Ia memutuskan untuk menunggu dan tidak berapa lama saudaranya itu datang. Saudaranya itu memang mencari kayu, tetapi ia tidak membawanya sendiri, seekor harimau yang cukup besar berjalan di belakangnya sambil ‘menggendong’ kayu tersebut. Setelah kayu diturunkan dari punggung sang harimau, saudaranya itu berkata, “Pergilah, semoga Allah memberkahi dirimu!!”
            Harimau itu berlalu pergi dengan patuhnya, dan pemandangan itu membuatnya terkagum-kagum. Tampaknya saudaranya itu telah mencapai maqam yang cukup tinggi di sisi Allah, hingga mempunyai ‘karamah’ bisa memerintah binatang buas.
            Saudaranya itu mengajaknya masuk, dan meminta dengan lemah lembut kepada istrinya untuk menyiapkan makanan bagi mereka. Sang istri memenuhi perintahnya dengan sikap yang kasar, dan mulutnya tidak henti-hentinya mengomel. Sebaliknya, ia melihat saudaranya itu hanya diam dan terlihat sangat lapang, tidak sepatah katapun keluar dari mulutnya. Sama sekali tidak ada sikap marah dan tersinggung dengan perkataan istrinya yang sangat menusuk perasaan, bahkan tampak sekali saudaranya itu nyaman dan bahagia dengan keadaaannya. Karena itu ia urung untuk menanyakan keadaan rumah tangganya, seperti keinginannya semula.
            Dengan keadaan seperti itu, ia tidak ingin berlama-lama untuk tinggal. Ia pamit pulang, tetapi sepanjang perjalanan tidak habis-habisnya ia memikirkan keadaan saudaranya itu. Di satu sisi ia mempunyai ‘karamah’ yang begitu mengagumkan, tetapi di sisi lainnya, ia menghadapi sikap istrinya yang begitu buruk.
            Beberapa tahun berlalu dan tidak bertemu, ia datang lagi mengunjungi saudaranya itu. Sampai di rumahnya yang tampak tertutup, ia mengetuk pintunya dan mengucap salam. Maka terdengar suara seorang wanita, yang mungkin adalah istri saudaranya itu, “Siapa??”
            Kali ini suara itu begitu lembut dan santun, sangat berlawanan suara wanita bertahun sebelumnya. Ia berkata, “Aku adalah saudara suamimu, datang dari jauh untuk menjenguk keadaannya!!”
            Suara santun wanita itu terdengar lagi, “Selamat datang, suamiku sedang mencari kayu di hutan. Silahkan untuk menunggu, tetapi mohon maaf aku tidak bisa membukakan pintu hingga suamiku pulang!!”
            Ia berkata, “Tidak mengapa, biar saja aku menunggu di luar!!”
            Kemudian ia terlibat pembicaraan singkat lewat pintu yang tertutup, dan istri saudaranya itu memuji-muji kebaikan dan kesalehan suaminya itu setinggi langit, dan menyatakan rasa syukurnya karena bisa menjadi istrinya.
            Tidak lama kemudian saudaranya itu datang, tetapi yang mengherankannya tidak ada harimau yang membawakan kayunya seperti dahulu. Ia memikul sendiri tumpukan kayu tersebut, tampak kelelahan dan keringat mengalir di wajahnya, tetapi masih dengan kelapangan dan rasa bahagia yang sama seperti bertahun sebelumnya. Mendengar suaranya itu, sang istri langsung membuka pintu dan menyambut kedatangannya dengan santun dan hormatnya.
            Saudaranya itu mengajaknya masuk, dan ternyata makanan telah terhidang, maka mereka langsung menyantap makanan yang disediakan istrinya tersebut. Sambil makan ia berkata, “Wahai saudaraku, apakah yang terjadi? Apakah engkau telah kehilangan ‘karamah’mu yang dahulu?”
            Masih dengan kelapangan hati dan pancaran rasa bahagia yang sama seperti bertahun sebelumnya, saudaranya itu berkata, “Wahai saudaraku, dahulu itu Allah SWT memberikan istri yang cerewet dan rendah akhlaknya kepadaku, dan aku ikhlas menerimanya. Karena kesabaranku menghadapinya, maka Allah mendatangkan harimau untuk membantuku. Beberapa bulan yang lalu istriku yang cerewet itu meninggal, dan sejak itu pula harimau itu tidak membantuku lagi, dan aku harus memikul sendiri kayu-kayu itu. Namun demikian, Allah tetap memberikan ‘karamah’ lainnya kepadaku, yakni istri yang cantik dan masih muda, serta sangat baik akhlaknya dan tekun ibadahnya!!”
            Dalam riwayat lain disebutkan, saudaranya yang saleh itu adalah seorang pandai besi. Ia mencari kayu untuk membakar besi-besi yang diolahnya. Ketika ia masih beristri yang cerewet dan ia bersabar atasnya, bukan hanya harimau yang membawakan kayunya, tetapi ia memegang besi yang dibakarnya langsung dengan tangannya. Tetapi ketika Allah telah menggantinya dengan istri yang salehah, cantik, masih muda dan berakhlaqul karimah, ia harus memegang besi yang dibakarnya dengan penjepit, kalau tidak tangannya akan melepuh.

Karena Tidak Menunaikan Zakat

 Sekelompok tabiin (mereka yang berguru pada sahabat Nabi SAW) mengunjungi seorang tabiin lainnya yang bernama Abu Sinan. Tetapi belum sempat berbincang, Abu Sinan berkata, “Mari ikut bersamaku bertakziah pada tetanggaku yang saudaranya meninggal!!”

            Mereka segera beranjak ke rumah tetangga Abu Sinan, dan mendapati lelaki itu menangis mengeluhkan keadaan saudaranya yang telah meninggal dan dimakamkan. Para tabiin itu berusaha menghibur dan menyabarkannya dengan berkata, ”Tidakkah engkau tahu bahwa kematian itu adalah sebuah jalan dan kepastian yang tidak bisa dihindarkan??”
            Lelaki itu berkata, “Memang benar, tetapi aku menangisi saudaraku yang kini menghadapi siksa kubur!!”
            Sesaat mereka saling berpandangan, kemudian berkata, “Apakah Allah memperlihatkan kepadamu tentang berita ghaib??”
            Ia berkata, “Tidak, tetapi saat selesai memakamkannya dan orang-orang meninggalkan kuburnya, aku duduk sendirian meratakan tanah kuburan sambil mendoakannya Tiba-tiba terdengar suara dari dalam tanah : …aach, mereka meninggalkan aku sendirian menghadapi siksa ini, padahal aku benar-benar telah berpuasa, aku benar-benar telah melaksanakan shalat….”
            Sesaat lelaki itu terdiam berusaha menahan isak tangisnya, lalu berkata lagi, “Mendengar perkataan itu, aku jadi menangis dan menggali lagi kuburannya untuk melihat apa yang sedang dihadapinya. Aku melihat api menjilat-jilat di sana, dan di lehernya melingkar sebuah kalung dari api. Rasa sayang dan kasihan membuatku ingin mengurangi deritanya, maka aku mengulurkan tangan untuk melepas kalung api itu, tetapi tangan dan jari-jemariku justru tersambar api sebelum sempat menyentuhnya….!!”
            Ia menunjukkan tangannya yang tampak menghitam bekas terbakar, dan berkata lagi, “Aku segera menutup kembali kuburnya, dan terus menerus bersedih, menangis dan menyesali keadaan dirinya….!!”
            Mereka berkata, “Sebenarnya apa yang telah dilakukan saudaramu di dunia hingga mendapat siksa kubur seperti itu??”
            Ia berkata, “Dia tidak mengeluarkan zakat hartanya!!”
            Salah seorang dari para tabiin itu yang bernama Muhammad bin Yusuf al Qiryabi berkata, “Peristiwa itu membenarkan firman Allah SWT : Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat. Dan kepunyaan Allah-lah segala warisan (yang ada) di langit dan di bumi. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS Ali Imran 180)… Sedangkan saudaramu itu disegerakan siksanya di alam kubur hingga hari kiamat tiba….”
            Para tabiin itu berpamitan, dan mereka mengunjungi sahabat Nabi SAW, Abu Dzarr al Ghifari. Mereka menuturkan kisah lelaki tetangga Abu Sinan itu, dan menutup ceritanya dengan pertanyaan, “…. Kami telah banyak melihat orang-orang Yahudi, Nashrani dan Majusi mati, tetapi kami tidak pernah mendengar cerita yang seperti ini!!”
            Abu Dzarr berkata, “Mereka (kaum Yahudi, Nashrani dan Majusi) telah jelas tempatnya di neraka, adapun Allah memperlihatkan keadaan orang-orang yang beriman (yang mengalami siksa) itu kepada kalian, agar kalian dapat mengambil ibarat (pelajaran). Bukankah Allah telah berfirman : Sesungguhnya telah datang dari Tuhanmu bukti-bukti yang terang; maka Barang siapa melihat (kebenaran itu), maka (manfaatnya) bagi dirinya sendiri; dan barang siapa buta (tidak melihat kebenaran itu), maka kemudaratannya kembali kepadanya. Dan aku (Muhammad) sekali-kali bukanlah pemelihara kamu. (QS al An’am 104)….!!”  

Tidak Berputus Asa dari Rahmat Allah

Jauh sebelum diutusnya Nabi SAW, pernah ada seseorang yang luar biasanya ‘prestasi’ kejahatannya, ia telah membunuh sembilanpuluh sembilan orang tanpa alasan yang benar. Namun demikian, tiba-tiba tergerak dalam hatinya untuk bertaubat, hanya saja ia bimbang apakah masih ada peluang baginya untuk kembali ke jalan kebaikan. Orang-orang di sekitarnya menyarankan agar menemui seorang rahib untuk menanyakan hal itu.

            Ketika tiba di tempat kediaman sang rahib, ia menceritakan kegundahan hatinya dan keinginannya untuk bertaubat. Sang rahib bertanya, “Apakah kesalahanmu itu?”
            Ia berkata, “Saya telah membunuh sembilanpuluh sembilan orang tanpa alasan yang benar!!”
            “Apa??” Seru sang rahib penuh kekagetan, “Membunuh sembilanpuluh sembilan orang? Tidak ada jalan bagimu!! Tempat yang tepat bagimu adalah neraka!!”
            Lelaki itu sangat kecewa sekaligus marah. Ia sadar bahwa kesalahannya memang begitu besarnya. Tetapi cara sang rahib menyikapi dan ‘memvonis’ itu sangat melukai perasaannya. Walau hatinya mulai melembut dengan keinginannya untuk taubat, tetapi jiwa jahatnya belum benar-benar menghilang. Tanpa banyak bicara, ia mengambil pisaunya dan membunuh sang rahib. Genap sudah seratus nyawa tidak bersalah yang melayang di tangannya, tetapi ‘panggilan’ Ilahiah untuk bertaubat terus mengganggu perasaannya, hanya saja ia tidak tahu harus bagaimana?
            Suatu ketika ada orang yang menyarankan untuk menemui seseorang yang alim di suatu tempat, dan ia segera menuju ke sana. Ketika tiba di tempat tinggal sang alim, ia menceritakan jalan hidupnya, termasuk ketika ia menggenapkan pembunuhannya yang ke seratus pada diri sang rahib, dan tentu saja keinginannya untuk bertaubat. Sang alim yang bijak itu berkata, “Tentu saja bisa, dan tidak ada seorangpun yang bisa menghalangi keinginanmu untuk bertaubat. Tetapi tinggalkanlah tempat tinggalmu itu karena di sana memang kota maksiat. Pergilah ke Kota A (kota lainnya) karena di sana banyak orang yang beribadah kepada Allah, beribadahlah engkau bersama mereka, dan jangan pernah kembali ke kotamu itu. Insyaallah engkau akan memperoleh ampunan Allah dan dimudahkan jalan kepada kebaikan!!”
            Lelaki itu segera berangkat ke kota yang dimaksudkan sang alim, tetapi di tengah perjalanan kematian menjemputnya. Datanglah dua melaikat untuk menjemput jiwa lelaki itu, satu Malaikat rahmat dan satunya Malaikat azab (siksa). Dua malaikat itu bertengkar dan masing-masing merasa berhak untuk membawa jiwa lelaki itu. Sang Malaikat rahmat berkata, “Ia telah berjalan kepada Allah dengan sepenuh hatinya!!”
            Malaikat azab berkata, “Ia tidak pernah berbuat kebaikan sama sekali, justru kejahatannya yang bertumpuk-tumpuk!!”
            Mereka berdua terus beradu argumentasi, sampai akhirnya Allah mengutus malaikat yang ketiga dalam bentuk manusia untuk menjadi ‘hakim’ bagi keduanya. Setelah masing-masing mengajukan pendapatnya, ia berkata, “Ukurlah jarak dua kota itu dari tempat kematiannnya ini, mana yang lebih dekat, maka ia termasuk dalam golongannya!!”
            Mereka mengukur jaraknya, dan ternyata kota yang dituju (kota tempat ibadah dan penuh kebaikan) lebih dekat sejengkal daripada Kota maksiat yang ditinggalkannya. Maka jiwanya dibawa oleh Malaikat rahmat, dan ia memperoleh ampunan Allah.
            Dalam riwayat lainnya disebutkan, sebenarnya lelaki itu belum jauh meninggalkan kota maksiat tersebut. Tetapi Allah memang berkehendak untuk mengampuninya, maka dari tempat kematinnya itu, kota kebaikan dan ibadah dipanggil mendekat dan kota maksiat ‘dihalau’ menjauh hingga jarak keduanya hanya selisih sejengkal tangan, lebih dekat kepada kota kebaikan.

Jumat, 06 September 2013

Malaikat Jibril menerangkan tentang neraka kepada Rasulullah SAW

Yazid Ar-Raqqasyi meriwayatkan dari Anas bin Malik, ia berkata, “Malaikat Jibril datang kepada Nabi SAW pada waktu yang tidak biasa dan dengan raut muka yang berbeda dari biasanya. Nabi Saw. lantas bertanya, “Kenapa aku melihat
kamu dengan raut muka yang berbeda?” Jibril menjawab,
“Wahai Muhammad, aku datang kepadamu pada saat Allah memerintahkan supaya api neraka dinyalakan. Tidak pantas jika orang yang mengetahui bahwa neraka, siksa kubur, dan siksaan Allah itu sangat dahsyat untuk bersenang-senang sebelum dirinya merasa aman dari ancaman-ancaman itu.”

Nabi SAW lantas bersabda, “Wahai Jibril, lukiskanlah keadaan neraka Jahanam itu kepadaku. Jibril berkata, ”Baik. Ketika Allah Ta’ala menciptakan neraka Jahanam apinya dinyalakan selama seribu tahun hingga berwama hitam. Jadi, neraka Jahanam itu hitam kelam, nyala dan baranya tidak pernah padam.
Demi Dzat yang mengutus Engkau dengan kebenaran, seandainya neraka Jahanam itu berlubang sebesar lubang jarum, niscaya segenap penghuni dunia akan terbakar karena panasnya.
Demi Dzat yang mengutus Engkau dengan kebenaran, seandainya ada satu baju penghuni neraka itu digantung di antara langit dan bumi, niscaya semua penghuni dunia akan mati karena bau busuk dan panasnya.
Demi Dzat yang mengutus Engkau dengan kebenaran sebagai Nabi, seandainya sehasta dari mata rantai sebagaimana yang disebutkan di dalam Al- Quran, diletakkan di puncak gunung, niscaya bumi sampai ke dalamya akan meleleh.

Demi Dzat yang mengutus engkau dengan kebenaran sebagai Nabi, seandainya ada seseorang yang berada di ujung Barat dunia ini disiksa, niscaya orang yang berada di ujung Timur akan terbakar karena panasnya.Neraka itu mempunyai tujuh pintu, dan masing-masing pintu dibagi-bagi untuk laki-laki dan perempuan.”
Nabi SAW bertanya, ” Apakah pintu-pintu itu seperti pintu-pintu kami ini?” Jibril menjawab, “Tidak, pintu itu selalu terbuka. Pintu yang satu berada di bawah pintu yang lain. Jarak pintu yang satu ke pintu yang lain sejauh perjalanan70 tahun. Pintu yang di bawahnya itu lebih panas 70 kali lipat dari pintu yang di atasnya.

Musuh-musuh Allah diseret ke sana dan jika mereka sampai di pintu itu malaikat Zabaniyah menyambut mereka dengan membawa rantai dan belenggu. Rantai itu dimasukkan ke dalam mulutnya dan keluar dari duburya, sedangkan tangan kirinya dibelenggu dengan lehernya, dan tangan kanannya dimasukkan ke dalam dada hingga tembus ke
bahu. Setiap orang yang durhaka itu dirantai bersama setan dalam belenggu yang sama, lantas diseret wajahnya tersungkur dan dipukul oleh malaikat dengan palu. Setiap kali mereka hendak keluar dari neraka lantaran kesengsaraan mereka, niscaya mereka dikembalikan ke dalam neraka.”

Rasulullah SAW lalu bertanya, “Siapakah penghuni masing-masing pintu itu?”Jibril menjawab, “Pintu yang paling bawah atau pertama namanya Hawiyah berisi orang-orang munafik dan orang-orang yang kafir.
Pintu kedua namanya Jahim berisi orang-orang musyrik.
Pintu ketiga namanya Saqar tempat arang-orang shabi’in.
Pintu keempat namanya Ladh berisi iblis dan orang-orang yang mengikutinya, serta orang Majusi.
Pintu kelima namanya Huthamah tempat orang-orang Yahudi.
Pintu keenam namanya Sa’ir tempat orang-orang Nasrani.

Jibril terdiam sesaat karena merasa segan kepada Rasulullah Saw. kemudian beliau bertanya, “Kenapa engkau tidak memberitahukan penghuni pintu yang ketujuh?” Jibril menjawab, “Di dalamnya berisi umatmu yang melakukan dosa-dosa besar dan tidak tobat sampai mereka meninggal dunia.”Kemudian Nabi Saw. pingsan mendengarnya lantas Jibril meletakkan kepala beliau di pangkuan Jibril sampai beliau sadar kembali. Setelah sadar, beliau bersabda kepada Jibril, “Betapa besar cobaan yang menimpaku dan aku merasa sangat sedih. Jadi, ada di antara umatku yang akan masuk neraka?” Jibril menjawab, benar, yaitu umatmu yang mengerjakan dosa-dosa besar. Kemudian Rasulullah SAW menangis, dan Jibril pun juga
ikut menangis.

Rasulullah SAW lantas masuk ke rumahnya dan menyendiri. Beliau hanya keluar rumah jika hendak mengerjakan salat dan tidak berbicara dengan siapa pun.Dalam shalat beliau menangis dan sangat merendahkan diri kepada Allah Ta’ala.
Pada hari yang ketiga, Abu Bakar r.a. datang ke rumah beliau dan mengucapkan, ”Assalaamu’alaikum, yaa ahla baitir rahmah, apakah saya bisa bertemu dengan Rasulullah SAW. ?” Namun tidak ada seorang pun yang menjawabnya, sehingga Abu Bakar menangis tersedu-sedu. Umar r.a. datang dan berdiri di depan pintu seraya berkata, ”Assalaamu’alaikum, yaa ahlal baitir rahmah, apakah saya bisa bertemu dengan Rasulullah SAW?” Namun tidak ada seorang pun yang menjawabnya, sehingga Umar Iantas menangis tersedu-sedu.

Salman Al-Farisi datang dan berdiri di depan pintu seraya berkata, ”Assalaamu’alaikum, yaa ahla baitir rahmah, apakah saya bisa bertemu dengan junjunganku Rasulullah SAW?” Namun tidak ada yang menjawab, sehingga ia pun menangis dan terjatuh. Kemudian Salman bangkit dan mendatangi rumah Fathimah. Sambil berdiri di depan pintu ia berkata, ” Assalamu’alaikum, wahai putri Rasulullah SAW” sementara Ali r .a. sedang tidak ada di rumah. Salman lantas berkata, “Wahai putri Rasulullah SAW, dalam beberapa hari ini Rasulullah SAW suka menyendiri. Beliau tidak keluar rumah kecuali untuk shalat dan tidak pemah berkata-kata serta tidak mengizinkan seseorang untuk masuk ke rumah beliau.”

Fathimah lantas mengenakan pakaian panjang dan pergi ke rumah beliau. Di depan pintu rumah Rasulullah SAW Fathimah mengucapkan salam dan berkata, “Wahai Rasulullah, saya adalah Fathimah.” Waktu itu Rasulullah SAW sedang sujud sambil menangis, lantas mengangkat kepala dan bertanya, ”Ada apa wahai Fathimah, Aku sedang menyendiri. Bukakan pintu untukku.” Maka dibukakanlah pintu untuk Fathimah.

Fathimah menangis sejadi-jadinya, karena melihat keadaan Rasulullah yang pucat pasi, tubuhnya tampak sangat lemah, mukanya sembab karena banyak menangis. Fathimah bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah yang sedang menimpa dirimu wahai ayahku?” Beliau bersabda, “Wahai Fathimah, Jibril datang kepadaku dan melukiskan keadaan neraka. Dia memberitahu kepadaku bahwa pada pintu yang teratas diperuntukkan bagi umatku yang mengerjakan dosa besar. Itulah yang menyebabkan aku menangis dan sangat sedih.”

Fatimah bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana mereka masuk ke neraka itu?” Beliau bersabda, “Mereka digiring ke neraka oleh malaikat. Wajah mereka tidak hitam, mata mereka tidak biru, mulut mereka tidak disumbat, dan mereka tidak dibelenggu ataupun dirantai.” la bertanya,” wahai Rasulullah, bagaimana sewaktu mereka digiring ke neraka oleh malaikat?” Beliau bersabda, “Laki-laki ditarik jenggotnya, sedangkan perempuan dengan ditarik rambut ubun-ubunnya.”

Kisah Sedekahnya Pak Satpam

Al An’am 160: “Setiap amal kebaikan akan dibalas 10 kali lipat dari amalnya.”
Ketika Yusuf Mansur melintasi di suatu daerah, dia tiba-tiba terbangun dari kursi tengah mobil mewah yang dia naiki. Sambil memperbaiki posisi duduknya, Yusuf berpesan kepada sopir pribadinya untuk singgah sejenak di pom bensin.
“Masih penuh ustaz,” jawab sopir dengan melihat indikasi tangki bensin.
Mendengar jawaban sopir, Yusuf langsung menimpali “Saya kebelet, pengen ke toilet sebentar,” katanya sambil melihat sopirnya melalui spion tengah di dalam mobil. Tidak lama melaju, mobil Yusuf singgah di pom bensin. Sambil berjalan cepat, Yusuf menuju pintu toilet yang berada di belakang tempat pengisian bahan bakar. Namun langkah Yusuf terhenti ketika seorang satpam pom bensin berteriak memanggilnya.
Dengan langkah cepat, si satpam mendekati Yusuf dan berkata “Alhamdullilah ketemu ustaz di sini, biasanya cuma di televisi,” kata si satpam. Setelah basa-basi, si satpam mengutarakan maksudnya kepada Yusuf, dia mengaku bosan menjadi satpam meski gaji yang didapatnya terbilang cukup besar untuk seukuran satpam daerah.
Si satpam merasa hidupnya tidak banyak berubah. Dia mengeluhkan kehidupannya yang selalu berjalan monoton. Padahal si satpam sudah rajin salat, namun belum juga mendapat perubahan yang lebih baik lagi dari Allah SWT.
Keluh kesah si satpam memutuskan Yusuf untuk mengajaknya duduk di minimarket, dalam kompleks pom bensin. Sambil menikmati kopi sore hari, si satpam menceritakan kisah hidupnya, hingga akhirnya Yusuf bisa menarik sebuah kesimpulan utama. Si satpam menginginkan rizki yang banyak, namun belum banyak waktu untuk mengingat Allah.
Memang si satpam rajin salat lima waktu, namun selalu salat di akhir waktu. Meski menyadari kesalahannya itu, si satpam selalu berkilah dengan memandang semua perbuatan baik adalah ibadah, tanpa melihat prioritas dan waktu dari ibadah itu sendiri.
“Memang bekerja jika dimaknai ibadah juga bisa, semua perbuatan baik jika diniati ibadah juga bisa, tapi jangan lupa untuk memprioritaskan ibadah primer dulu, seperti salat lima waktu. Kamu (si satpam) sholat ashar jam setengah 5 sore, padahal waktu asar jam 3, itu sama halnya kamu meninggalkan Allah sejauh satu setengah jam.”
Jika sehari dikali lima, bagaimana dengan sebulan, setahun, atau ketika pertama kali kamu pertama kali balig? Sudah berapa jauh kamu meninggalkan Allah SWT,” lanjut Yusuf.
Di akhir pembicaraan di minimarket itu, Yusuf berpesan kepada satpam untuk memperbaiki salatnya. Kemudian menyuruh si satpam untuk bersedekah untuk mempercepat balasan Allah SWT.
“Ini yang sulit ustaz,” kata satpam memotong pembicaraan Yusuf. Menurutnya gaji yang diterimanya sebesar Rp 1.700,000 perbulan, sangat pas untuk memenuhi kebutuhan bulanannya, termasuk bayar kontrakan dan cicilan sepeda motor miliknya sebesar Rp 900 ribu perbulannya. Bahkan tidak jarang, si satpam sudah berhutang di kios tetangganya pada pertengahan bulan. “Duit sedekah darimana ustaz?” terangnya.
“Motor kamu saja dijual, nanti uangnya kamu sedekahkan semua. Insya Allah akan cepat dibalas,” sahut Yusuf.
Mendengar jawaban Yusuf, si satpam buru-buru mengatakan keberatannya. Sebab tidak mungkin untuknya pergi bekerja tanpa mengendarai sepeda motor.
Akhirnya Yusuf menantang si satpam untuk kasbon, meminta awal gaji bulanannya kepada perusahaan untuk disedekahkan. Awalnya si satpam ragu, namun melihat keseriusan dan janji Allah SWT yang diterangkan Yusuf, membuat si satpam memberanikan diri menghadap atasan.
Setelah permasalahan si satpam teratasi, Yusuf pamit untuk melanjutkan perjalanannya yang sempat tertunda. Sedangkan si satpam, segera bergegas ke ruangan pemimpin untuk mengutarakan maksudnya. Singkat cerita, akhirnya si satpam berhasil meyakinkan atasan untuk kasbon Rp 1.700,000 dan segera menyedekahkannya.
Dengan keyakinan kebenaran janji Allah, si satpam melewati hari demi hari dengan rajin salat wajib tepat waktu dan konsisten melaksanakan salat sunnah. Hingga akhirnya si satpam merasakan manisnya janji Allah ketika dia bertemu dengan orang kaya yang sedang bingung mencari tanah. Tidak banyak peran dia, si satpam hanya bertugas sebagai perantara antara pembeli yaitu orang kaya itu, dengan penjual yang masih tetangganya di kampung.
Tidak membutuhkan waktu berbulan-bulan, Allah persis mengganti sedekahnya dengan melipatkan komisinya sebesar Rp 17.000,000. “Alhamdullilaah,” puji si satpam kepada kebesaran Allah SWT.
Kini si satpam tidak lagi meragukan kebenaran janji Allah, bahkan motor kesayangannya dia jual untuk membantu mewujudkan impian ibunya berhaji.
Tidak berhenti sampai di situ, mengetahui si satpam adalah lulusan S1 akuntansi, akhirnya perusahaan mengangkat jabatannya. Kini mantan satpam itu telah menjadi staf keuangan di induk perusahaan yang lebih besar.
Nabi Muhammad SAW bersabda, “Tidak seorangpun yang menyedekahkan hartanya yang halal dimana Allah menerimanya dengan kananNya (dengan baik), walaupun sedekahnya itu hanya sebutir kurma. Maka kurma tersebut akan bertambah besar di tangan Allah Yang Maha Pengasih, sehingga menjadi lebih besar daripada gunung. Demikian Allah memelihara sedekahmu, sebagaimana halnya kamu memelihara anak kambing dan unta (semakin hari semakin besar).” (HR. Muslim).

Rabu, 04 September 2013

ALLAH, Tidak Pernah Iseng

Saya sering sekali mengalami suatu kejadian sulit dalam hidup saya yang  beberapa waktu kemudian menjadi hikmah yang begitu dalam menghujam saya, ketika saya nyasar dan masuk ke jalan jalan sempit yang entah ujungnya dimana, sekian waktu kemudian
saya sadari “kalau gak nyasar saya gak bakalan tahu jalan pintas” yang paling kasat mata adalah saat putus dari pacar lama, awalnya sih kesel juga sama ALLAH “kenapa sih, mau yang itu aja gak boleh” beberapa waktu kemudian ALLAH mempertemukan dengan yang lebih indah, yang dulu itu kalah baiklah “kalau gak putus, gimana mau ditemuin sama yang baru kan yah” jadi memang tidak ada yang sia sia yang diciptakan ALLAH, kejadian apapun yang terjadi bukan karena ALLAH iseng, tapi begitu indahnya ALLAH merencanakan hidup kita :) masih berani ngeluh? NO !
Kehidupan memang ada rodanya, roda itu bernama waktu, untuk melihat pelangi disore hari, siangnya harus tercipta hujan deras, bahkan badai, untuk melihat bulan dimalam hari, harus terbenam dulu tuh matahari, habis tercipta lagu September ceria keluar lagu November rain (lagu jadul ya De? hehehe) belum kering airmata tercipta, masih pengen nangis agar galau lenyap eh ALLAH munculkan temen temen yang kocak dan bikin ketawa
Maka semua nya gak ada yang sia sia, selalu ada pelajaran, jadi jika ada masalah yang berat dan sabar menipis maka belajarlah menjadi kuat (motivator mode on)
Saya jadi teringat dengan Aziz, sepupu saya yang menyandang authis, dirinya diciptakan ALLAH dengan fungsi otak yang mati sebelah, sehingga Aziz secara fisik tumbuh sempurna namun tidak bisa bicara, tidak bisa berinteraksi dengan orang lain kecuali Ibu-nya, dia seperti computer tanpa CPU, tidak bisa diapa apakan kecuali ditatap wajahnya yang ganteng seperti kaka sepupunya yang manis  :P
Lalu apakah ALLAH iseng menciptakan Aziz? tentu tidak, kehadirannya telah menyadarkan banyak manusia untuk bersyukur punya otak yang lengkap, punya mulut yang bisa bicara, punya hati yang bisa berinteraksi dengan manusia lain :) dan buat saya Aziz telah mengajarkan betapa sempurnanya saya dengan segala kekurangan, diamnya Aziz telah mengajarkan pada saya bahwa hidup tak perlu banyak omong :)  
Subhnallah, ini baru satu contoh, coba banyangkan nyamuk yang sekecil itu telah menjadi penghidupan untuk cicak didinding :) hehehe, lagu lagi, jadi teman sungguh ALLAH tidak menciptakannya apapun tanpa tujuan, gak pernah iseng tuh ALLAH, hanya saja kita manusia ini want to know aja ke ALLAH, kepo ke ALLAH kenapa nasib saya begitu kenapa gak begini, sudahlah, mungkin saya tidak secantik Luna Maya tapi ibadah saya mungkin, mungkin lo yah lebih banyak sehingga ALLAH menutup aib aib saya, mungkin  saya tidak terlahir dari keluarga yang sekaya Bakrie tapi saya memiliki Ayah yang hebat yang selalu ada saat saya butuhkan, dan mungkin saya harus menjalani hidup yang berat yang lebih berat dari yang lain, itu kan karena ALLAH mau saya menjadi kuat gak cengeng :)
Sekali lagi, setiap kejadian dan ciptaan di dunia ini bukan iseng-isengnya ALLAH, dan ini  juga bukan kecelakaan atau gak sengajanya ALLAH, semua telah dirancang dengan indah, tugas kita hanya menjalani takdir dan berdoa yang terbaik,

Berdiri Di Atas Takdir

Betul bahwa hidup tak selalu indah, betul bahwa hidup tak selalu menyuguhkan semua yang saya inginkn, betul bahwa semua yang saya inginkan tak semua bisa saya miliki, betul bahwa kadang hidup ini terasa lebih pahit dari pare rebus dan lalapan daun pepaya, betul bahwa kadang saya tertipu dengan dunia, saya tersakiti oleh kata kata orang yang harusnya tidak saya masukan hati,

Kadang bodohnya saya, saya mabuk oleh cinta manusia yang tidak mencintai saya *parah*, saya bahkan pernah jatuh bangun mempertahankan hubungan yang sudah kolaps menunggu mati “udah jelas jelas orangnya gak mau” hehehe… cinta ama bodoh emang beda tipis, pernah saya kadang ingin berteriak oleh keputusan orang tua saya yang tak sejalan, dan bahkan hancur oleh keingin keinginan … dunia oh dunia, kata Ayah saya dunia itu ujungnya tanah bukan langit :)
Iya semua manusia pasti mengalami kondisi sulit, dalam kadar kesulitan yang berbeda beda tentunya, yang menurut saya berat mungkin ringan untuk yang lain, gelap tak jelas,  kian hari bukan kian terang tapi kian menggelisahkan.  Seluruh jalan terasa buntu, tangisan setimbun masalah hidup, tapi beginilah hidup selama masih bernapas selama itu pula masalah akan datang, jangan sombong yang sekarang sedang bahagia, bentar lagi kolaps !! tukeran, hidup itu selalu berputar, hari ini sedih besok bahagia :)
Lalu bagaimana agar terhindar dari semua yang menyakitkan itu De” menghindar? manalah bisa, saya dan kita semua hanya manusia yang hadir didunia ini sebagai khalifah dan kita semua didunia ini menjalankan takdir kita masing masing, lahir dengan perjalanan hidup masing masing, datang sendiri, pulang sendiri, kan gitu yah? ALLAH maha Adil, setiap cobaan sesuai takaran kemamapuan masing masing, ALLAH aja yakin saya kuat, masa saya gak yakin !! jreng jreng !! jangan bilang beriman kalau gak teruji, jleb jelb !!
Pesen guru ngaji saya nih: TOP banget !! “Setiap ujian dan kerumitan hidup itu bukti kasih sayang ALLAH, kalau ALLAH gak perduli ngapain diuji, biarin aja tersesat kesenangan sesaat, terjerumus, nyemplung dan hancur, ujungnya kekal di neraka” mau? saya sih gak mau !
Jadi yang bisa saya lakukan adalah menerima semua takdir hidup, sepahit apapun, seperih apapun, mau nolak kaga bisa :) ikhlas gak ikhlas waktunya gagal ya gagal, sabar gak sabar waktunya kehilangan yang kehilangan, mau nangis darah tetap kehilanga, jadi mendingan terima sambil ngelus dada terus bilang deh “ya ALLAH kuatkan hamba, ampuni hamba yang lemah, cintai hamba, sayangi hamba dan jangan tinggalkan hamba sendiri melewati semua ini” terus dzikir deh, terus dzikir jangan berhenti sampai tenang dan air mata habis :)
Ketika masalah datang, ALLAH tidak meminta saya berpikir hingga penat mencari jalan keluar, karena jalan keluar milik ALLAH, yang ALLAH minta hanya saya sabar dan shalat “dan jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu” kurang apa lagi coba? Ayo hapus arimata yah, sabar dan shalat !!!
Dan satu lagi, jika terasa buntu jangan cari jalan keluar yang tambah masalah, jangan menyelesaikan masalah dengan masalah, contohnya nih “gak dapat dapat jodoh, nekat pacaran dan menyerahkan segalanya” ini bodoh namanya, contoh lagi minum minum hamar dan nge-drug biar hilang masalah, masalah gak hilang otak hilang:)
Jadi, selamat kembali ke ALLAH, DIA yang memberi ujian DIA pula yang akan mencarikan jalan keluar, gak ada yang lain Bro !!